Oleh: Dahlan Iskan
SAYA punya buku yang bagi saya sangat berharga: tentang perjalanan hidup dan penginjilan Pendeta Abraham Alex Tanuseputra. Yang meninggal dunia pekan lalu itu.
Termasuk bagaimana sejarah dibangunnya gereja terbesar pertama di Indonesia. Yang berkapasitas 20.000 jemaat. Yang arsitektur luar dalamnya sangat baru bagi dunia gereja di Indonesia saat itu. Yang terletak di Nginden Surabaya.
Pendeta Alex-lah yang memiliki ide itu dan berjuang mewujudkannya. Sampai ke penggalangan dananya. Termasuk bagaimana mengatasi demo dan penentangan dari lingkungannya.
Sampai-sampai gedung itu awalnya tidak diberi nama gereja tapi disebut graha: Graha Bethany.
Megah sekali.
Kelak saya akan menulis lebih jelas tentang perjalanan ide gereja itu. Juga mimpi-mimpi besar Pendeta Alex lainnya. Termasuk bagaimana beliau mimpi mewujudkan 1.000 gereja Bethany di Indonesia. Dan tercapai.
Keinginan Pendeta Alex selalu tercapai. Sampai-sampai beliau mendapat julukan sebagai orang yang memiliki visi yang selalu besar.
Setelah ide besar Graha Nginden terwujud ada lagi mimpi besar Pendeta Alex: membangun gereja tertinggi di Indonesia. Bahkan di dunia.
Kesempatan itu datang ketika krisis moneter terjadi di tahun 1998. Yang diikuti kesulitan ekonomi di tahun-tahun berikutnya. Banyak sekali properti yang dijual. Termasuk lahan strategis di bekas bandara Kemayoran, Jakarta.
Pendeta Alex pun mengambil alih tanah di situ. Akan dibangunnya sebuah gedung setinggi 500 meter. Tertinggi di Indonesia. Gedung itu diberi nama 'Menara Doa'. Yang secara umum akan disebut 'Menara Jakarta'.
Tapi Pak Alex tidak lagi sekuat ketika menggagas Graha Bethany. Pak Alex tidak lagi menjadi masinis di lokomotif besar bernama Bethany. Posisinya di gereja Bethany semakin lemah. Itu yang membuat pembangunan 'Menara Doa' tidak lancar.
Akhirnya Pak Alex kehilangan daya. Jangankan meneruskan 'Menara Doa'. Beliau pun tersingkir dari gerejanya sendiri: Gereja Bethany.
Proyek 'Menara Doa' akhirnya diambil alih kembali oleh para investor. Hak Pak Alex tetap diakui di situ. Tapi tidak lagi 100 persen.
Kelak, kalau proyek itu selesai, Pak Alex akan mendapat hak sekitar 3.000 m2. Mungkin tidak lama lagi. Kelihatannya tahun 2022 sudah akan selesai. Tentu dengan konsep yang sama sekali berubah dari yang diinginkan Pak Alex.
Bagian Pak Alex yang sekitar 3.000 m2 itu akan tetap dijadikan gereja. Karena itu belakangan Pak Alex 'pusing' bagaimana harus mencari uang untuk membiayai interior di gedung baru itu nanti.
Memang Pak Alex belakangan mendirikan 'Ministry sendiri di Jakarta. Tapi itu bukan gereja. Ministry itu untuk melayani permintaan-permintaan dari jemaat gereja mana pun.
Beliau meninggal ketika masih belum menemukan jalan keluar dari mana mendapat biaya untuk interior itu. Yang tentu mahal sekali. Pak Alex menginginkan interior yang sangat khusus. Yang lebih modern dari interior di Graha Bethany Nginden.
"Sebelum meninggal itu beliau sangat ingin menjual rumah beliau. Ya untuk membiayai interior di gedung baru itu," ujar orang dekat Pak Alex tersebut.
Rumah yang mana?
“Pak Alex menyebut rumah di Celaket, Pacet, dan rumah di dekat Graha Bethany Nginden," ujarnya.
Villa yang di Pacet itu (lereng gunung Arjuno, tidak jauh dari tempat wisata Tretes) dulunya sering untuk acara retreat.
"Pak Alex membayangkan akan dapat uang Rp 40 miliar dari menjual rumahnya yang di Celaket. Lalu mendapat Rp 35 miliar dari menjual rumah yang di Nginden. Kata beliau itu cukup untuk membangun interior gereja di Kemayoran itu," katanya.
Orang-orang dekat itu mengingatkan Pak Alex. Tidak mungkin beliau menjual dua rumah itu. Kan sudah dikuasai anaknya.
"Sampai tiba-tiba meninggal beliau belum mendapat gambaran dari mana biaya untuk menyiapkan interior di gedung baru itu nanti," ujar orang dekat itu.
Dengan demikian ada dua cita-cita Pak Alex yang belum terwujud sampai beliau meninggal. Yakni gereja di Jakarta itu dan bisa kembali ke Graha Bethany.
Saya bisa merasakan bagaimana di hari tuanya Pendeta Alex tidak bisa masuk ke gereja yang dibangunnya dengan penuh semangat itu. Pun bagaimana ia 'terusir' oleh anaknya sendiri: Aswin Tanuseputra. Yang sekarang menguasai gereja itu berikut jaringannya yang luas: Gereja Bethany.
"Beliau terus memimpikan suatu saat bisa kembali ke Gereja Bethany Nginden," ujar salah seorang yang sangat dekat dengan Pak Alex.
"Kalau beliau bisa kembali," ujar orang tersebut, "Beliau hanya ingin minta ampun kepada seluruh jemaat tentang apa pun kesalahan yang beliau lakukan. Terutama soal status kepemilikan gereja itu," ujarnya. "Beliau akan mengembalikan gereja itu menjadi kembali milik umat," katanya.
Ia mengaku tidak sendirian mendengarkan kata-kata Pak Alex seperti itu. Juga bukan hanya sekali. Ia menyebut nama-nama orang yang ikut mendengarkannya. "Tolong jangan disebut nama-nama itu. Agar jangan sampai ditahan," katanya.
Ia mengatakan tidak ada lagi orang yang berani berhadapan dengan Aswin sejak lama. "Aswin itu orang kuat. Siapa melawannya bisa bernasib seperti Sudjarwo," ujarnya.
Sudjarwo adalah aktivis Bethany yang juga salah satu orang dekat Pak Alex. Yang karena membela Pak Alex sampai harus menjadi tersangka. Dengan sangkaan memberi keterangan palsu. Dan sempat ditahan.
Sejak itu tidak ada yang berani lagi menjadi Sudjarwo.
"Saya sebenarnya berani. Tapi istri saya nangis-nangis. Jangan sampai saya ditahan," ujarnya.
Saya sendiri semula sudah senang akan bisa wawancara dengan Pendeta Aswin. Tapi sesaat kemudian beliau membatalkannya. Dengan alasan beliau lagi menjalani isolasi mandiri. 'Sedang isolasi' itu pula yang menjadi alasan mengapa Aswin tidak hadir di persemayaman ayahnya.
Pun juga alasan pandemi Covid-19 yang membuat jenazah Pendeta Alex tidak disemayamkan di gereja Bethany Manyar —sebagaimana jenazah ibunya dulu. Itu demi memenuhi aturan pemerintah di bidang protokol kesehatan.
Saya memaklumi batalnya wawancara itu. Isolasi kini bisa dijadikan alasan pembenar di banyak hal. Maka saya tawarkan untuk wawancara lewat zoom. Tapi beliau juga tidak bersedia.
Saya pun mengirimkan beberapa pertanyaan tertulis. Salah satunya: apakah Pak Aswin akan hadir di persemayaman itu seandainya lagi tidak isolasi mandiri.
Pak Aswin menjawab bahwa beliau tidak bersedia menjawab. Beliau, untuk saat ini, memilih bersikap diam.
Saya pun memaklumi sikap itu. (*)