Harian Apel

Rabu 12-08-2020,04:05 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

Oleh: Dahlan Iskan TIONGKOK terus pasang 'call tinggi: di tengah kecaman dunia Barat polisi Hong Kong justru menangkap Jimmy Lai. Sekalian dengan dua anak laki-lakinya (Lihat Harian DI's Way edisi kemarin). Sudah pasti, dunia Barat tambah ribut. Kali ini melebar ke organisasi pers dunia. Di hari yang sama pesawat tempur Tiongkok terbang di atas Taiwan. Kali ini melintasi garis merah. Untuk kali pertama. Siapa memprovokasi siapa? Barat menuduh Tiongkok melakukan tindakan provokasi. Dengan menerbangkan pesawat tempur melintasi garis merah. Tiongkok menuduh Amerikalah yang memprovokasi. Dengan mengirim seorang menteri melayat ke Taiwan. Sekaligus memberi penghargaan atas prestasi Taiwan di bidang penanganan Covid-19. Tokoh Taiwan memang baru saja meninggal: Lee Teng-hui. Tanggal 30 Juli lalu. Dalam usia 97 tahun. Mayatnya dimakamkan dua hari lalu. Lee sering diberi gelar 'bapak demokrasi' Taiwan. Ia adalah presiden pertama Taiwan (1988-2000) yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Tapi ada juga yang mengatakan 'bapak demokrasi' sebenarnya adalah Chiang Ching Kuo. Jenderal ini adalah anak pendiri Taiwan, Chiang Kai Shek. Selama 10 tahun Chiang Ching Kuo menjadi presiden Taiwan. Yakni setelah bapaknya meninggal. Ia tidak mau membangun politik dinasti. Waktu disekolahkan ke Moskow, Chiang Ching Kuo masih berstatus anak presiden Tiongkok. Oleh Joseph Stalin, presiden Uni Soviet, anak muda ini dikirim magang ke pabrik baja. Lalu pacaran dengan gadis Rusia. Kawin. Pengantin baru itu dikirim balik ke Beijing. Bersama istri Rusianya. Yakni ketika Tiongkok diserang Jepang. Chiang Ching Kuo ikut terjun ke medan perang. Pun ketika terjadi perang saudara setelah itu. Yakni antara ayahnya yang nasionalis dengan Mao Zedong yang komunis. Mao yang menang. Chiang Ching Kuo ikut lari ke Taiwan bersama ayahnya. Mereka mendirikan pusat pemerintahan Tiongkok di Taiwan. Sampai sekarang. Chiang Ching Kuo sebenarnya  berpeluang membangun dinasti Chiang Kai Shek di Taiwan. Tapi tidak mau. Chiang Ching Kuo tidak mengader anak-anaknya di bidang politik. Bahkan sebelum meninggal dunia ia membuka kebebasan pers di Taiwan. Lalu kebebasan berpendapat. Pun kebebasan mendirikan partai. Ia merestui ketika wakil presidennya sendiri mendirikan partai di luar Kuo Ming Tang: Lee Teng Hui. Lalu ikut pemilu pertama di Taiwan. Menang. Sebetulnya sejak Chiang Ching Kuo jadi presiden keinginan merebut kembali daratan Tiongkok mulai reda. Tambah reda lagi di zaman Presiden Lee Teng Hui. Tapi Tiongkok tetap menganggap Taiwan —bekas salah satu provinsi Jepang— sebagai salah satu provinsinya. Yang harus direbut —kalau perlu dengan kekerasan. Baru di zaman Presiden Donald Trump ini Amerika mendukung penuh Taiwan. Dan sejak mengakui hanya Tiongkok yang berhak mewakili 'One China' di tahun 1979, baru kali ini Amerika mengirim seorang menteri ke Taiwan. Tapi Tiongkok kelihatannya tidak akan terpancing lebih dalam di Taiwan. Yang justru hanya akan menguntungkan posisi politik Trump di Pilpres tanggal 3 November nanti. Tapi, di sektor Hongkong, Tiongkok tidak akan mundur. Apa pun taruhannya. Barat menilai dengan menerapkan UU baru Keamanan Nasional, Hongkong  bisa kehilangan statusnya sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Tiongkok tidak peduli. Singapura adalah bukti. Dengan pemerintahan otoriter Singapura toh tetap menjadi salah satu pusat keuangan dunia. Yang juga disenangi dunia Barat. Soal dinilai anti kebebasan pers Tiongkok lebih tidak peduli. Terbukti Tiongkok tidak mempersoalkan keberadaan harian South China Morning Post yang sangat independen. Saya adalah pembaca setia koran bahasa Inggris terbesar di Hong Kong itu. Sejak saya muda. Bahkan ruang redaksi tempat saya bekerja dulu saya desain dengan inspirasi dari koran Hong Kong ini. Yang saya gabungkan dengan desain salah satu koran di Washington DC. Sejak beberapa tahun lalu South China Morning Post (SCMP) dibeli oleh grup Alibaba. Tapi independensinya tidak berubah. Sangat kritis. Hanya saja tidak nyinyir. SCMP memberi ruang sangat besar ke pihak oposisi. Tapi bukan menjadi bagian dari gerakan oposisi itu. Setiap kali memberitakan perusahaan yang terkait dengan grup Alibaba SCMP selalu menyertakan kalimat: Alibaba adalah induk perusahaan SCMP. Maksudnya SCMP ingin bersikap fair kepada pembacanya. Di Hong Kong masih banyak sekali koran —meski lebih banyak lagi yang sudah mati. Seperti juga di belahan dunia lain koran di Hongkong banyak yang berpihak. Harian Wen Wei Pao misalnya, sangat memihak Tiongkok. Sedang Ping Guo Ri Bao sangat anti-Tiongkok. Dua-duanya berbahasa Mandarin. Harian Ping Guo Ri Bao sebenarnya tergolong baru. Didirikan tahun 1995. Tapi sejak terbit sudah bikin heboh. Pun dari segi keberanian memberi nama koran itu. Yang kalau diterjemahkan artinya: Harian Apel. Lengkap dengan logo buah apel warna merah. Lebih mengejutkan lagi perwajahannya. Sangat menor. Dengan judul-judul besar. Warna-warni. Bombastis. Disertai grafis-grafis, komik dan foto-foto mencolok. Saya sengaja ke Hong Kong waktu Harian Apel terbit. Saya amati dalam-dalam. Saya pun membeli beberapa eksemplar. Seperti itulah biasanya oleh-oleh saya untuk redaksi kalau saya datang dari luar negeri. Belum pernah ada koran seperti itu sebelumnya. Maka Harian Apel itu langsung populer. Apalagi misinya jelas: anti Tiongkok. Sukses di Hongkong itu akan dilebarkan ke Taiwan. Maka dua tahun kemudian terbit pula Harian Apel di Taipei. Dengan format yang sama. Dengan misi yang sama. Dengan pemilik yang sama. Gagal total. Mesin-mesin cetaknya sudah telanjur banyak. Sebagian lantas saya beli. Rupanya soal misi anti-Tiongkok sudah bukan barang baru di Taiwan. Di Harian Apel yang anti Tiongkok bukan hanya isi koran itu, tapi juga pendiri dan bos-nya: Jimmy Lai. Yang kemarin ditangkap itu. Sewaktu 200 polisi menggerebek kantor koran itu, ada pesan khusus dari komandan mereka: jangan mengganggu ruang redaksinya. Jangan sampai persiapan terbit koran itu terhambat. Tapi polisi tidak bisa tidak masuk ruang itu. Kantor Jimmy Lai ada di lantai yang sama. Keesokan harinya Harian Apel tetap terbit. Tetap anti-Tiongkok. Bahkan ketika dilakukan penggerebekan, harian itu membuat siaran live streaming. Hong Kong rupanya telanjur basah. Sekalian terjun ke air. Apa pun risikonya. Dari pada Hong kong Merdeka.(*)

Tags :
Kategori :

Terkait