Politik Ugal-ugalan

Sabtu 08-08-2020,11:01 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

  Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Memasuki pekan pertama Agustus, suhu politik di negeri ini kian memanas. Di pelbagai sudut kota dan kabupaten, dari Kota A hingga Kabupaten Z, terlihat “perang” baliho. Frontal, bahkan terkesan ugal-ugalan. Padahal, pandemi Covid-19 yang menjungkirbalikkan dunia belum mereda. Alhasil, bisa dibayangkan keruwetan kondisi saat ini. Kehidupan masyarakat yang disusahkan Covid-19 dipaksa menyaksikan berbagai drama politik di hampir seluruh sudut panggung. Jawa Timur, contohnya, di beberapa kota dan kabupaten yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini panasnya panggung politik kian terasa mendidih. Berbagai pola menuju kemenangan dibuat. Penuh taktik dan strategi, oleh para pemain atau pialang politik. Taktik licik hingga strategi pertemanan yang ujungnya meminta dukungan penuh memenangkan calon tertentu, dijalankan. Lobi-lobi kelompok tertentu untuk menjatuhkan salah satu calon (kuat), juga terjadi di pekan-pekan terakhir ini. Detailnya, panggung politik di Jawa Timur kian diwarnai manuver. Mulai taktik calon borong partai politik, calon cari lawan pendamping untuk kalah, dan strategi partai politik ramai-ramai menghadang satu calon incumbent agar tidak bisa maju kembali dengan memakzulkan lebih dulu dari jabatannya. Semuanya terlihat bak drama dan sinetron yang statusnya kejar tayang. Sebut saja Kota Surabaya, di kota berjuluk pahlawan taktik borong partai politik untuk memenangkan satu calon wali kota terlihat jelas. Warga Surabaya pun paham tentang itu. Kabupaten Jember juga bisa dijadikan contoh. Pemilihan bupati (pilbup) tahun ini sangat sangat panas. Bahkan ada yang menyebut pilbub rasa pilpres (pemilihan presiden). Wow! Drama di Jember memang beda dengan sinetron di Surabaya. Masing-masing memiliki ciri khas dengan kondisi tertentu, meski sama-sama dipimpin seorang perempuat kuat dan tangguh. Jember dr Faida. Surabaya Tri Rismaharini. Di Jember, ramai-ramai terlihat gerakan menjatuhkan Faida yang dinilai terlalu angkuh oleh hampir semua partai politik hingga dirinya harus berjuang mempertahankan jabatan bupati lewat jalur indenpenden. Di Surabaya, Tri Rismaharini sibuk menyiapkan penggantinya untuk mendapatkan rekomendasi dari PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan) seperti terlihat dari berbagai baliho yang bertebaran di sudut-sudut kota agar bisa melawan Machfud Arifin (MA) yang sudah menyandang gelar calon wali kota dari rekomendasi berbagai partai politik. Nah dari dua contoh itu, memanasnya suhu politik adalah hal wajar. Dinamika kontestasi politik memang begitu adanya. Yang penting dalam berpolitik tidak lebay. Tidak menuding lawan sebagai pecundang. Tidak menilai lawan sebagai pesaing yang harus dihancurkan. Justru yang harus disiapkan mental diri sebagai pemimpin, apakah siap hanya memimpin tiga tahun menjadi wali kota atau bupati seperti UU Nomer 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomer 1 2015 Bagi Daerah Kabupaten Kota Provinsi Yang Menyelenggarakan Pilkada tahun 2020 Masa Jabatan Hanya Sampai 2024 setelah habis-habisan berjuang dengan modal menggelontorkan ratusan milar rupiah hingga tidak akan kembali modal.(*)

Tags :
Kategori :

Terkait