Oleh: Dahlan Iskan
BUKAN main keberanian Tiongkok menentang opini dunia – dunia Barat. Sampai pun berani menunda Pemilu legislatif di Hong Kong. Padahal penentangan terhadap pemberlakuan UU Keamanan Nasional di bekas koloni Inggris itu belum reda.
Padahal soal Laut Tiongkok Selatan masih panas. Pula soal Xinjiang. Pun soal pembalasan penutupan konsulat Amerika di kota Chengdu.
Apa yang membuat Tiongkok begitu tidak peduli dengan Barat?
Itu karena menyangkut kedaulatan. Titik. Kalau Hong Kong dibiarkan seperti tahun lalu ujung-ujungnya satu: Hong Kong minta merdeka. Itulah kesimpulan Tiongkok. Perjuangan minta merdeka itu lewat banyak front. Terutama lewat Pemilu dan lewat gerakan masa di jalan-jalan. Dua-duanya seperti sudah di depan mata. Pemilu tingkat distrik, tahun lalu, sudah dimenangkan oleh gerakan pro-demokrasi (baca: promerdeka). Dengan kemenangan total.
Bulan depan kemenangan itu akan dilanjutkan lewat Pemilu legislatif. Dengan demikian parlemen Hong Kong akan dikuasai gerakan itu. Sudah tidak cukup waktu bagi Beijing untuk membalikkan aspirasi. Pileg tinggal 30 hari. Kemenangan telak Pemilu distrik tahun lalu sudah memberikan harapan sangat besar untuk gerakan ini.
Untung ada pandemi.
Dengan alasan keselamatan umum pemerintah memutuskan menunda Pileg. Selama satu tahun.
Memang begitu sulit mencari alasan hukum untuk penundaan itu. Hampir mustahil. Mestinya.
Jelaslah alasan pandemi adalah dicari-cari.
Itu lantaran taruhan sebenarnya bukanlah keselamatan umum akibat pandemi. Induk dari segala alasan –pun yang dicari-cari itu– adalah satu: kedaulatan negara. Bukan main marahnya dunia Barat. Soal penundaan Pileg ini langsung dibentrokkan dengan demokrasi. Barat pun mengusung isu sentral: demokrasi lawan totaliter. Seruan mereka: dunia harus menegakkan demokrasi di Hong Kong.
Keberanian Tiongkok mengabaikan opini Barat itu bertumpu pada satu: success story. Tiongkok berhasil mengentas setidaknya 1 miliar manusia dari kemiskinan absolut. Itu lebih banyak dari seluruh penduduk Eropa dan Amerika dijadikan satu. Pun dalam waktu singkat. Kurang dari 50 tahun.
Sementara banyak negara demokrasi yang sudah merdeka lebih 60 tahun belum bisa mengentaskan kemiskinan. Pun menghapus tanda-tandanya saja belum. Tiongkok menjadi syah beralasan bahwa kekuasaan bukan semata untuk kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah untuk mensejahterakan rakyat dan memperkuat negara. Negara yang kuat bisa dipakai untuk mempertahankan kedaulatan.
Kini Tiongkok merasa kedaulatan itu terancam. Tiongkok perlu tegas di Hong Kong. Ini sekaligus seperti pedang dengan banyak mata. Dan mata terbesarnya dipelototkan ke Taiwan. Yang nada-nadanya juga kian tidak sabar untuk merdeka.
Taiwan dan Hong Kong mengembangkan rasa senasib. Hong Kong berkepentingan mendorong keberanian Taiwan untuk segera merdeka. Mumpung Donald Trump menjadi Presiden Amerika. Taiwan juga berkepentingan mendorong Hongkong untuk duluan merdeka. Mumpung Trump menjadi presiden.
Waktu saya berhari-hari berada di Taiwan akhir tahun lalu pertanda-pertanda seperti itu terlihat dengan nyata.
Malam itu saya berada di tengah-tengah massa kampanye terakhir capres incumbent Tsai Ing-wen. Begitu banyak aktivis Hong Kong yang berada di arena kampanye itu. Dengan terang-terangan. Dengan spanduk-spanduk gerakan Hong Kong merdeka.
Mereka berbaur dengan massa paling keras di Taiwan. Yang sejak lama menuntut agar Taiwan merdeka. Untuk selanjutnya merebut kembali Tiongkok dari kekuasaan komunis. Kini Tiongkok sudah in action di Hong Kong. Diabaikannya apa pun reaksi dunia. Pun reaksi di Hong Kong sendiri.
Tiongkok sudah punya pengalaman yang lebih pahit dari itu: Tian An Men. Di tahun 1989. Hari itu digelar demo pro-demokrasi di Beijing. Yang terbesar dalam sejarah gerakan pro-demokrasi. Kian hari demo itu kian besar. Di hari ke-20, 4 Juni 1989, pendemo berhasil menguasai jalan raya terlebar dan terpenting di Beijing: Jalan Chang An Jie. Lebarnya 18 lajur. Letaknya di antara Forbiden City dan lapangan Tian An Men.
Besarnya massa sampai memenuhi lapangan luas itu. Sampai ke musolium mayat Mao Zedong di timur lapangan.
Ketika militer mengerahkan armada tank ke arena itu puluhan tank militer terbakar. Pendemokah yang membakar? Atau gerakan intelijen? Agar ada alasan untuk melindas demo itu?
Yang jelas senja itu udara sejuk sekali. Musim dingin sudah lewat. Musim panas belum tiba. Itu masih akhir musim semi. Matahari kian tenggelam. Malam kian gelap. Lalu terjadilah sejarah itu: pendemo pasang badan. Mereka tiduran memblokade jalan raya. Dilindas. Tidak ada catatan berapa ratus yang meninggal. Atau berapa ribu.
Dalam sekejap jalan raya itu sudah bersih kembali. Mayat-mayat hilang. Darah tidak berbekas.
Dunia marah.
Marah sekali.
Tiongkok tidak peduli.
Negara itu terus membangun dan memperbaiki diri.
Kemarahan Barat itu ternyata tidak lama. Mereka kembali berbondong-bondong ke Tiongkok. Untuk investasi. Alasan mereka: keamanan dan kestabilan politik di Tiongkok terjamin. Di samping pasarnya sangat besar.
Dibanding drama Tian An Men itu apalah artinya kejadian di Hong kKong. Barat memang marah. Tapi tidak semarah soal Tian An Men.
Tidak bisa dibayangkan. Bagaimana seandainya Tiongkok masih negara miskin. Betapa lebih beraninya Barat.
Padahal Tiongkok sekarang negara kaya. Superpower. Ketika dimarahi ia kembali memarahi. Ketika dipelototi ia membalas melotot. (*)