Oleh: Dahlan Iskan
"Ini jimat," ujar kiai itu saat menyerahkan amplop kepada saya.
Sejak awal saya menduga amplop itu isinya uang. Maka saya pun memberi isyarat tidak mau menerimanya. Tapi begitu kiai mengatakan 'ini jimat' pikiran saya berubah. Tiwas saya punya prasangka yang salah. Oh... Ternyata isinya bukan uang. Mestinya.
Saat itu, kemarin malam, saya pamit lebih dulu meninggalkan acara. Saya sudah mendengar pidato sang kiai. Saya juga sudah mengikuti sambutan kiai Asep Saifudin Chalim, yang profesor doktor itu. Pun saya sudah memenuhi keinginan sang kiai untuk pidato motivasi pendek pada santri di situ.
Saat saya mau pamit sang kiai mengambil tas tangan di kursi. Membukanya. Mengambil amplop agak tebal. Saya mundur dan menolak.
"Ini jimat," katanya.
Jimat adalah benda yang mengandung kekuatan magis —bagi yang percaya. Saya pun menebak-nebak: jimat apa yang ada di dalam amplop itu. Saya bawa saja. Saya simpan di mobil. Saya tidak ingin membuka jimat itu.
Saya sudah punya banyak jimat. Bentuknya macam-macam. Mulai Alquran seukuran kuku jempol sampai batu akik. Tapi jimat yang baru saja diberikan itu sepertinya bukan benda keras. Sepertinya lembaran-lembaran uang. Yang kalau melihat tebalnya bisa jadi bernilai Rp 5 juta —kalau lembarannya Rp 100.000-an.
Sangat pantas kalau kiai itu memberi jimat. Sosok lahiriah kiai ini seperti Sunan Kalijogo abad 21. Rambutnya gondrong. Penutup kepalanya udeng hitam. Sarungnya hijau diubel-ubel. Bajunya jaket lusuh, terbuat dari jean butut. Kumisnya njaprang dengan ujung agak melengkung.
Mata kiai ini sayu seperti tidak pernah tidur. Suaranya berat tidak meledak-ledak. Kalau saja hobi menyanyi pasti suara seperti itu akan terdengar merdu. Sandalnya tua dan tanpa merek. Sewaktu naik podium, sandal itu dilepas sebelum naik panggung.
Nama kiai ini: KH Syaifullah Arif Billah. Umur: 52 tahun. Mobilnya banyak. Sekitar 20 buah. Ada Jaguar, BMW, Alphard, dan apa saja. Rumahnya tinggi, lima lantai. Lantai teratas untuk menyendiri, zikir, tafakur, semedi.
Pondok pesantren ini berlokasi di daerah Tretes, Prigen. Yakni di kaki timur Gunung Arjuno. Dari jalan raya harus masuk dulu gang kecil. Naik turun. Berkelok-kelok. Jalan itu menuju kampung khas pegunungan.
Nama pondok pesantren ini sudah lama saya dengar: Pondok Pesantren Singa Putih. Dzikir yang diamalkan di situ adalah tarekat Munfaridin. Tiap Jumat malam dilakukan istighotsah sampai larut malam. Dan tiap Jumat Pon (setiap 35 hari sekali) istighotsah-nya semalam suntuk.
Kuat?
Kiai itu sendiri sangat kuat. Para santri di situ menyebut sang kiai tidak pernah tidur. "Beliau haramkan tidur. Untuk beliau sendiri. Sepanjang tahun. Sepanjang hidup," ujar M. Sholeh, wakil kiai di situ.
Sholeh adalah pengacara terkenal di Surabaya. Yang kalau menggugat pemerintah hampir selalu menang. Yang pernah dihukum 2 tahun di akhir Orde Baru. Ia dianggap melakukan makar pada pemerintahan Pak Harto. Sholeh adalah tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang pernah dianggap komunis. Padahal Sholeh alumnus pondok Tebuireng Jombang, milik Gus Dur itu. (Baca DI's Way: Anak Sholeh).
Sholeh pernah naik haji bersama sang kiai. Itu juga yang ia lihat. Tidak pernah tidur. "Ketika kita-kita tidur beliau tetap duduk, wiridan," ujar Sholeh. Wiridan adalah mengucapkan kata-kata memuji Tuhan secara lirih.
Kiai Saifullah ini lahir di situ. Di desa Sentong itu. Ayahnya seorang petani —seperti umumnya warga desa Sentong. Di desa itu pula ia masuk SD. Sampai tamat. Lalu hilang.
Ia menghilang. Ia mengelana dari satu pondok ke pesantren lain. Dari satu tempat keramat ke makam berikutnya. Ia jalan kaki ke makam-makam wali songo. Tidak hanya di Jawa. Juga di seluruh Sumatera. Dari Lampung, Padang sampai ke Aceh.
Sholeh mengenalnya untuk kali pertama saat jadi santri di Tebuireng. "Ia sering ngebleng: tidak keluar kamar tiga hari tiga malam. Hanya duduk. Tidak makan tidak tidur," ujar Sholeh.
Lalu menghilang lagi. Di pengembaraannya itulah ia menemukan perlambang singa putih. Yang mulutnya lagi mangap. Taringnya menyeringai. Itulah yang kemudian menjadi nama pondok pesantren di Sentong ini. Juga menjadi lambangnya. Dan judul lagu hymnenya: hymne yang diciptakan sendiri oleh sang kiai.
Di pengembaraannya itu pula ia mendapat pertanda-pertanda: ia harus mendirikan pondok pesantren. Harus seperti zaman wali: santri tidak usah membayar. Maka ia dirikan pondok Singa Putih itu. Santri harus mukim. Ia sediakan tempat. Ia sediakan makan. Mula-mula di rumahnya, ups, rumah ayahnya.
Lalu ia beli rumah di dekat situ. Beli lagi. Beli lagi. Tapi yang mau jadi santri di situ tidak banyak. Jarang yang kuat menjalani tirakat dan laku sufi seperti kiai Syaifullah. Apalagi kalau harus ikut menjalani apa yang dilakukan kiai.
Pelajaran di pondok itu sepenuhnya salaf —mengajarkan kitab-kitab lama yang tulisannya Arab tanpa tanda baca. Suatu saat sang kiai bertemu Kiai Asep Saifudin Chalim. Yang sangat sukses membangun pondok pesantren di Pacet —sisi utara kaki gunung Arjuno. Sukses jumlah santri maupun kualitasnya.
Tahun ini 400 lulusan Madrasah Aliyah Amanatul Ummah Pacet lulus masuk ke ITB, Unair, ITS, UGM, Undip, UNS, dan sekelasnya. Belum lagi yang terpilih kuliah di Al Azhar, Mesir dan di berbagai universitas di Tiongkok.
Kiai Asep pun memberikan pandangan ke kiai Syaifullah yang nyentrik itu. Agar Singa Putih mau membuka madrasah modern. Kiai Asep sanggup jadi penasihat di Singa Putih.
Jadilah Singa Putih membuka pesantren modern. Mula-mula hanya tingkat tsanawiyah (SMP). Sekarang sudah sampai Aliyah.
Gedung sekolahnya pun dibuat modern. Megah. Wajah depannya pun seperti bangunan Eropa lama. Pilar-pilarnya besar dan tinggi. Ada mahkota di bagian atas pilar itu. Lalu ada dua patung singa putih yang lagi mangap di atas gedung.
Kemarin malam bangunan itu diresmikan. Saya diminta hadir. Itulah gedung yang dikerjakan hanya selama 40 hari. Seluruh santri ikut membangun. Siang malam. Dengan arsitek kiai sendiri.
Di samping mengharamkan tidur bagi dirinya sendiri, sang kiai juga mengharamkan beristri lebih dari satu. Ia contohkan itu ke masyarakat. Kiai sendiri sering mengantar istrinya ke pasar.
Saat peresmian itu sang kiai minta ibunya naik panggung. Di situ kiai mencium kening ibunya. Mencium lutut sang ibu. Mencium kaki sang ibunda.
Ayah sang kiai sudah meninggal lama. Tapi sang ayah masih sempat menyaksikan kiprah anaknya itu membangun pesantren. Sang ayah juga sering ikut pengajian anaknya. "Ayah saya selalu saya pakai contoh sebagai ayah yang mulia. Yakni ayah yang tidak canggung ikut mengaji ke anak," ujar kiai seperti ditirukan Sholeh.
Yang juga menarik: istighotsah di pondok ini dilakukan dengan cara melantunkan syair. Kesannya lebih berdendang syair daripada istighotsah. Syair itu juga gubahan sendiri sang kiai.
Dalam syair itu dilantunkan dulu kalimat pujian pada Tuhan dalam bahasa Arab. Lalu disambung lantunan syair dalam bahasa Jawa. Dilagukan. Dengan irama yang berbeda-beda.
Pondok ini juga tidak mau menerima BOS (bantuan operasional sekolah). Atau bantuan apa pun dari pemerintah. Juga tidak mau minta-minta sumbangan. Justru tamu-tamu yang datang, pulangnya diberi uang. Disangoni jimat. Termasuk bupati sekali pun.
Setelah mendengar itu saya menjadi ragu. Apakah jimat saya itu isinya juga uang