Oleh: Dahlan Iskan
Hampir saja saya tidak jadi ke Pakistan. Begitu sulit cari tiket ke sini. Tidak ada lagi penerbangan Singapura-Lahore. Tidak ada pula dari Kuala Lumpur. Pun dari Bangkok.
Istri Robert Lai ikut sibuk. Mencarikan jalur Singapura-Karachi. Atau Singapura-Islamabad. Hasilnya nihil. “Apakah negara itu sudah mau tutup,” gurau Dorothy, istri Robert Lai, teman saya di Singapura itu.
Saya sudah coba mencari pilihan yang tidak biasa: Jakarta-Colombo-Lahore. Tidak ada. Jakarta-Guangzhou-Lahore. Sama saja. Saya pun mencari visa India. Siapa tahu bisa lewat jalur ini: Jakarta-Delhi-Lahore. Idem ditto: tidak tersedia.
Bahkan yang dulu jurusan Guangzhou-Lahore itu harus muter lewat Xinjiang. Atau Uzbekistan.
Yang ditawarkan di online selalu harus lewat Timur Tengah: Jakarta-Doha-Lahore. Ada juga Jakarta-Dubai-Lahore. Jakarta-Jeddah-Lahore.
Saya pilih Jakarta-Muscat-Lahore. Dengan terpaksa. Itu pun lantaran orang Oredoo Oman itu memprovokasi saya. “Anda kan sudah 40 tahun tidak ke Oman,” katanya.
Bukan main jauhnya. Penerbangan yang mestinya 6 jam menjadi 17 jam. Harga tiket yang mestinya Rp 24 juta menjadi Rp 48 juta. Pulang-pergi.
Penyebabnya satu: wilayah perbatasan India-Pakistan tidak aman lagi. Sejak sebulan lalu. Saling serang. Nyaris perang terbuka.
Pesawat-pesawat dari arah timur membatalkan jadwalnya. Tidak mau lagi melintasi kawasan konflik.
Awalnya India menyerang wilayah Pakistan. Sebagai balasan atas aksi bom bunuh diri warga Kashmir. Yang menewaskan 30 orang India. Lanjutannya: Pakistan menembak jatuh dua pesawat tempur India.
Dua negara ini sudah tiga kali perang. Sejak keduanya berpisah di tahun 1947. India ingin merebut Kashmir yang berada di bawah pemerintahan Pakistan. Pakistan ingin merebut Kashmir yang ada di bawah pemerintahan India.
Padahal dua negara ini tidak boleh perang. Mestinya. Bahaya untuk dunia. Masing-masing memiliki senjata nuklir. Sekali adu nuklir binasalah kita.
Kali ini India dinilai sengaja bikin situasi lebih panas. Untuk tujuan politik dalam negeri. Agar perdana menteri Narendra Modi bisa terpilih lagi. Untuk jabatan kedua. Perang dijadikan senjata untuk menaikkan suara. Pemilu India sudah begitu dekatnya.
Begitulah pendapat di Pakistan. Tidak satu pun orang yang saya ajak bicara tidak berpendapat begitu.
Imran Khan juga tahu itu. Perdana menteri Pakistan itu tidak terpancing. Pilot India yang jatuh di wilayah Pakistan pun segera dipulangkan. Tanpa syarat apa-apa. Agar situasi tidak memanas.
Imran Khan tetap fokus membangun ekonomi. Pun di perayaan kemerdekaan Pakistan Sabtu lalu. Terasa sekali nuansa ekonominya.
Imran Khan mengundang Perdana Menteri Malaysia, DR Mahathir Muhamad. Yang akan mengembangkan Proton di Pakistan.
Sepanjang jalan utama Islamabad foto Mahathir berjajar. Mahathir memang punya darah Pakistan.
Demikian juga dalam parade pasukan. Pasukan angkatan bersenjata Arab Saudi ikut berparade. Yang mendapat tepuk tangan meriah.
Begitulah cara Imran Khan menghargai negara yang membantunya. Arab Saudi memang baru saja turun tangan. Menyediakan uang 6 miliar dolar. Untuk menghindarkan Pakistan dari kebangkrutan.
Pun saat parade angkatan udara. Yang menampilkan pesawat-pesawat tempurnya. Bermanuver di langit terbuka.
Sesi itu dibuka dengan melintasnya satu helikopter. Lewat depan panggung utama. Pandangan mata pun mengarah ke bagian bawah helikopter itu. Yang digantungi tali dengan pemberat. Untuk mengibarkan tiga bendera yang diikatkan di tali itu.
Dan yang berkibar itu adalah bendera Arab Saudi, Turki, dan Tiongkok. Itulah tiga sahabat terbaik Pakistan. Ditambah satu lagi: Azerbaijan.
Betapa pragmatisnya Pakistan kini: di puncak acara ulang tahun kemerdekaan mengibarkan bendera asing.
Tiongkok baru saja menempatkan uang 2,2 miliar dolar di bank sentral Pakistan. Untuk menghindari gagal bayar. Dalam perdagangan internasional.
Kedua negara saling menamakan hubungan mereka sebagai ‘sahabat untuk segala cuaca’. Tentu Tiongkok punya banyak proyek ekonomi di sana. Tapi saya tidak berhasil menemukan restoran Chinese Food yang enak selama di Pakistan.
Saya pernah coba masakan Sichuan. Di mall Emporium di Lahore. Di belakang hotel The Nishat. Tempat saya menginap --sesuai anjuran pembaca DI's Way itu. Sama sekali tidak ada aroma Sichuan-nya.
Di hotel Marriott Islamabad saya mencoba lagi. Chinese food-nya rasa Pakistan.
Belum juga kapok.
Saat di Marriott Karachi saya tergoda lagi. Gara-gara di hotel itu ada restoran dengan nama sangat sexy: Sushi Wong.
Ternyata sama saja. Maka tiap hari pun saya kembali ke naan. Atau chappati. Atau puri. Atau Pratha. Dengan bumbu daal. Atau mashala. Atau channy.
Nasinya selalu briyani. Dengan lauk kambing. Kalau lagi bosan dengan kambing ada satu selingan: daging domba.
Pulang nanti pun saya sudah akan pandai mengembik.(*)