Oleh Dahlan Iskan
Ada pertanda-pertanda apa dengan harga emas yang mencapai rekor sepanjang masa Senin kemarin? Saya pun terbelalak. Sejak Senin pagi saya terus mengikuti perkembangan baru harga emas itu. Sampai menjelang tidur malam.
Ketika bangun pukul 02.30 –Selasa dini hari– saya monitor lagi sekilas: apakah ada penurunan. Terutama setelah pasar di London ditutup kemarin malam (WIB).
Tidak ada penurunan.
Berarti harga baru emas ini –USD 1.933/ons– bukan karena kepanikan sesaat. Harga baru emas ini bisa dipakai indikator bahwa keadaan ekonomi sangat rapuh. Pun untuk jangka yang tidak pendek.
Harga baru emas itu merupakan wujud puncak indikasi dari gejala menurunnya nilai tukar dolar. Penurunan nilai dolar itu karena indikasi akan terjadinya inflasi.
Sumber inflasi itu –Anda sudah tahu– banyak uang digelontorkan ke masyarakat yang tidak dikaitkan dengan peningkatan produksi. Penggelontoran itu terjadi untuk stimulus ekonomi dan untuk jaringan pengaman sosial.
Program itu digenjot karena pandemi Covid-19 tidak kunjung teratasi –terutama di Amerika Serikat. Yang tiap hari jumlah penderita barunya masih di atas 50.000 orang.
Pakai masker ternyata berhubungan dengan harga emas. Seperti juga banyaknya jalan berlubang ternyata terhubung dengan inflasi. Itulah ilmu ekonomi. Itulah sebabnya mengapa dibuka fakultas ekonomi. Yang dibenci banyak politisi yang hanya ingin populer.
Birokrat merasa harus memperbaiki jalan berlubang untuk melayani pemilih. Ekonom memperbaiki jalan rusak agar inflasi terkendali. Politisi memakai masker untuk citra yang baik. Ekonom pakai masker agar inflasi tidak melonjak. Dan di Amerika penggelontoran uang cash ke masyarakat itu luar biasa besarnya. Anda sudah tahu: mencapai USD 2,5 triliun.
Kalau itu terjadi dalam tempo pendek masih oke. Tapi ternyata pandemi tidak juga teratasi.
Harus dialirkan uang baru lagi. Dan lagi. Dan lagi. Belum terlihat ujungnya –sampai vaksin lulus uji coba tahap tiga. Pun sumber uang itu dicurigai: dari cetak uang. Bukan dari tabungan atau dari cadangan devisa.
Menurut teori awal, itu tidak apa-apa: inflasi itu akan diekspor juga ke luar Amerika. Asumsinya: pemakai dolar Amerika di luar Amerika lebih besar dari di dalam negeri sendiri.
Tapi ada perang dagang. Kegiatan ekonomi merosot di seluruh dunia. Pemakaian dolar di luar Amerika ikut menurun. Belum lagi Tiongkok terus mengurangi transaksi dolarnya.
Penggelontoran uang cash itu juga masih oke kalau masuk ke sektor produksi. Beredarnya lebih banyak uang diimbangi dengan meningkatnya produksi di segala macam barang dan jasa.
Padahal penggelontoran kali ini untuk sektor konsumsi. Untuk menjaga agar rakyat tetap bisa beli makanan.
Mengapa tidak dialirkan ke sektor produksi?
Di saat pandemi ini sektor produksi ikut berhenti. Bukan tidak punya modal. Tapi pasar menghilang –atau sangat kecil. Kecuali produk makanan. Bank misalnya, bukan tidak punya likuiditas. Tapi tidak menemukan pintu: mau disalurkan ke siapa –yang tetap bisa berproduksi. Yang bisa berproduksi pun tidak berani mencari pinjaman baru.
Harga baru emas ini begitu mengejutkan. Dan itu seperti guru yang sedang memarahi muridnya.
Apalagi kalau hari ini, atau besok, atau minggu depan harga emas itu melampaui USD 2.000/ons. Itu sudah sama dengan guru yang tidak percaya lagi pada muridnya.
Celakanya si murid tidak tahu kalau lagi dimarahi –karena belajarnya online. (*)