Untuk Keluarga, Berkorban Apa?

Selasa 28-07-2020,17:01 WIB
Reporter : Agus Supriyadi
Editor : Agus Supriyadi

The greatest sacrifice is when you sacrifice your own happiness for the sake of someone else. Pengorbanan tertinggi adalah ketika kamu mengorbankan kebahagiaanmu demi kebahagiaan orang lain. (Carrie Whetzel) Selalu ada pahlawan di keluarga kita. Mungkin ibu yang luar biasa. Diberi uang gaji bapak berapa pun bisa mengelolanya. Meski orang tua zaman dulu masih belum ikut KB, artinya anaknya masih cenderung banyak, tetap saja bisa memutarnya, mencukup-cukupkannya. Ada saja yang dilakukan untuk menghasilkan uang tambahan agar dapur terus mengebul. Kadang membuat kue untuk rapat-rapat kantor dan dharmawanita, kadang menjual hasil kebun dan kelapa, dan kadang karena kecekatan dapurnya dimintai bantuan oleh mereka yang sedang punya hajatan. Atau bapak yang luar biasa. Pulang kantor masih berkebun. Menanam apa saja, ya sayur ya buah. Untuk kebutuhan sendiri, bahkan sebagian lainnya dijual. Malam harinya, masih mengetik (masih pakai mesin ketik) soal ujian atau apa saja yang bisa menambah pendapatan. Atau kakak sulung kita. Dia rela sekolahnya tidak terlalu tinggi asal adiknya bisa. Dialah yang memberikan wawasan agar adik-adiknya lebih maju. Dia bekerja keras agar adik-adiknya bisa meneruskan sekolah setinggi-tingginya. Bahkan, saat berlibur diajaknya ke kota, dikelilingkan ke perguruan tinggi ternama agar adindanya punya "mimpi tinggi" supaya kelak bisa memasukinya. Atau kakak atau adik kita yang mengalah untuk merawat orang tua kita yang sudah sepuh karena menganggap lebih longgar waktunya. Mengalah agar kakak dan adik-adiknya bisa bekerja sepenuhnya. Mengalahkan kehidupannya sendiri yang kadang mengorbankan begitu banyak hal. Luar biasa. Untuk keluarga, kita sudah berkorban apa? Inilah satu contoh yang dahsyat luar biasa. Cobalah google "superdaddy Dick Hoyt", namanya akan muncul baik berupa teks maupun video. Tak hanya satu, banyak sekali. Memang "prestasinya" luar biasa. Dia sudah mengikuti ribuan triatlon dan maraton. Apa yang luar biasa? Lomba-lomba itu bukan untuk dia. Tapi, untuk sang anak, Rick Hoyt, yang "different-able", menderita cerebral palsy, saat kelahirannya, otaknya kekurangan oksigen. Sebagai ayah dia begitu terketuk ketika sang anak pada usia 15 tahun menuliskan begini di komputernya, "jika aku ikut lari, aku seperti merasa tidak punya kekurangan apa pun dalam tubuhku." Sang ayah tersentuh. Pada umur 40 tahun, usia yang sangat terlambat untuk menjadi atlet, ia giat berlatih. Demi sang anak, militaryman ini, selalu mengikuti berbagai lomba, Ribuan kali. Videonya sungguh touchy, menyentuh sekali. Silakan mengekliknya. Bagaimana seorang ayah lomba berenang tapi punggungnya menarik perahu kecil anaknya menyeberangi selat. Lalu, menaiki sepeda yang didesain khusus untuk membonceng anaknya di depannya. Kemudian, lari sambil mendorong kereta anaknya. Penonton yang bersorak membuat "The Team Hoyt" semangat, sang yunior juga mengangkat-angkat tangannnya, dalam keterbatasannya. Di situlah superdaddy memperoleh kebahagiaan tertingginya. Ayah teladan yang benar-benar langka. Saya berkaca-kaca setiap kali melihatnya. Hoyt adalah contoh kisah pengorbanan yang luar biasa. Ibrahim AS terhadap Ismail AS contoh yang lebih luar biasa. Kuncinya satu: satajiduni insya Allah minas shabirin (lakukan ayah, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk golongan orang yang sabar-- As Soffat 102). Kita berkorban apa untuk keluarga? Apa pun perannya, mari kita lakukan dengan "satajiduni insya Allah minas shabirin". Aku sabar melakukannya. Aku ikhlas melakukannya. Sebagaimana keikhlasan tingkat tinggi Ibrahim dan Ismail memenuhi perintah Tuhannya. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Tags :
Kategori :

Terkait