Oleh: Dahlan Iskan
Pemenang putaran pertama balapan vaksin ini jelas: CanSino Biologics. Yakni penemu vaksin yang dari Wuhan itu. Yang dipimpin jenderal wanita Chen Wei itu. Di balapan putaran kedua terjadi saling salip. Boleh dikata imbang.
Tapi di putaran ketiga terjadi pembalikan. Yang finis duluan adalah Sinovac. Yakni vaksin Covid-19 yang dari Beijing itu. Setidaknya Sinovac-lah yang lebih dulu mencapai garis finis di Bandung. Di ibukota Jawa Barat itu Sinovac akan dicoba terhadap 1.600 orang sukarelawan yang mendaftar secara gratis.
Walhasil Indonesia telah memilih berpartner dengan Sinovac. Kalau uji coba tahap 3 nanti berhasil Indonesia akan diizinkan memproduksi sendiri vaksin itu. Biofarma, milik BUMN, mampu melakukannya.
Amerika kelihatannya akan memilih CanSino Biologics yang dari Wuhan itu. Atau memilih vaksin produk Moderna Inc. Yang milik Swedia-Amerika itu. Brazil, di samping memilih menguji Sinovac, juga sudah disetujui untuk uji coba penemuan dari Oxford University Inggris.
Sinovac, CanSino, Moderna, Oxford. Empat vaksin itulah yang sekarang lagi balapan di kelompok pertama. Di belakang itu masih banyak yang siap masuk arena balapan.
Dari empat vaksin Covid-19 itu mana yang lebih hebat?
Sepanjang perkembangan yang saya ikuti kelihatannya kurang lebih saja. Tapi saya bukan orang yang berhak beropini di bidang ini. Saya sangat awam, pun di bidang microbiologi.
Bahwa Amerika memilih Moderna Inc barangkali karena itulah satu-satunya yang berbau Amerika.
Kalau pun nantinya Amerika akan memilih juga CanSino Biologics barangkali juga bukan asal berbeda dengan Indonesia. Mungkin saja karena CanSino bukan kelahiran asli Wuhan. Nama CanSino sendiri singkatan dari Canada-China.
Apa hubungannya dengan Kanada?
Para pendiri CanSino itu adalah orang-orang Tiongkok lulusan Kanada. Tokoh utama CanSino, Yu Xuefeng, kini 57 tahun, meraih gelar doktor di McGill University Montreal, Kanada. Yakni doktor di bidang mikrobiologi. Setelah lulus McGill mereka tidak pulang. Mereka bekerja di perusahaan farmasi yang terkemuka di dunia: Sanofi Pasteur.
Anda pasti pernah makan obat bikinan Sanofi, saking banyaknya jenis obat bikinan Sanofi.
Mereka pun sangat berprestasi di situ. Banyak yang sampai menduduki posisi level atas.
Suatu malam mereka pesta daging bakar di halaman belakang rumah Yu Xuefeng. Di situlah mereka terlibat dalam pembicaraan serius: mengapa pabrik obat di negara mereka ketinggalan. Khususnya ketinggalan dari dunia Barat. Baik dalam hal mutu maupun keamanannya.
Pesta malam itu diakhiri dengan kebulatan tekad: pulang!
Mereka ingin mewujudkan idealisme di bidang farmasi bagi kemajuan Tiongkok. Mereka pun berhenti dari Sanofi. Ada 4 orang yang segera memilih pulang. Mereka inilah yang mendirikan perusahaan farmasi di kota Tianjin, sebelah timur Beijing. Kata 'Kanada' mereka abadikan dalam nama depan perusahaan itu: CanSino.
Pemerintah Kanada memberikan dukungan pada perusahaan itu. Bahkan membolehkan menjalin kerja sama dengan lembaga riset milik pemerintah Kanada.
Ketika ada wabah Ebola, CanSino aktif mengembangkan vaksin itu. Saat itulah mereka bertemu Jenderal Chen Wei, ahli mikrobiologi yang juga kepala pusat riset farmasi militer Tiongkok. Mereka pun bekerja sama.
Sebelum itu pun mereka sudah lama mengenal nama Chen Wei. Nama jenderal wanita ini amat harum. Juga heroik. Terutama saat terjangkit wabah SARS di Tiongkok. Kala itu Chen Wei melakukan riset sangat serius. Dia ingin menemukan vaksin anti-SARS. Dan dia berhasil.
Keberhasilan itu bukan tidak dramatik. Sangat-sangat dramatik. Chen Wei menjadikan anak lelaki satu-satunya sebagai objek uji coba vaksin yang dia temukan itu. Umur si anak masih 4 tahun.
Itu bukan karena Chen Wei tidak sayang anak. Tapi dia begitu yakin akan penemuannyi itu. Dia memastikan anaknyi tidak akan bermasalah.
Kalau tahun lalu di Tiongkok beredar film Wolf Warrior II yang sangat laris di bioskop-bioskop, inspirasinya dari perjalanan kepahlawanan Chen Wei itu. Kali ini, untuk vaksin anti-Covid-19 ini, Chen Wei merangkul CanSino.
Sayangnya CanSino tidak bisa finish di Bandung.(*)