Oleh: Arief Sosiawan
Pemimpin Redaksi
Beberapa hari terakhir terlihat wajah-wajah murung para orang tua siswa di berbagai sekolah. Mereka yang selalu mondar-mandir menjemput buah hatinya itu tidak ceria lagi, seperti hari-hari sebelum Permendikbud 51/2018 ditetapkan.
Mereka kecewa dan shock soal ini. Bagi mereka, Permendikbud 51 bak bom yang meledak di saat mereka sedang berjuang menata dan merencanakan program studi buat masa depan anak-anaknya.
Mereka seakan tak percaya peraturan yang mengatur PPDB (penerimaan peserta didik baru) tahun ini berubah. Tidak sama dengan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi, mencuatnya Permendikbud 51 secara jelas dan transparan kurang dari enam bulan dari hari H ujian berlangsung.
Tahun lalu, PPDB tingkat sekolah menengah pertama (SMP) di Surabaya masih menggunakan nilai ujian nasional (NUN). Tanpa zonasi penuh, tapi modifikasi.
Tahun 2019 (mungkin dan seterusnya) model modifikasi tidak diperbolehkan. Sistem PPDB harus menggunakan Permendikbud 51/2018. Yang tegas-tegas memakai sistem zonasi (tempat tinggal peserta didik) sebagai jalur masuk SMP dengan persentase sangat tinggi, yakni 90 persen. Sisanya, 5 persen jalur prestasi, dan 5 persen berikutnya jalur perpindahan orang tua/wali.
Atas perubahan ini, para orang tua siswa menilai hal ini merugikan mereka. Apalagi, tanpa sosialisasi yang ajeg dan berkesinambungan, Permendikbud 51 yang tiba-tiba mencuat seperti dipaksakan untuk dijalankan.
Sampai-sampai Armuji, ketua DPRD Kota Surabaya, mengumbar pernyataan. Lebih pada ancaman untuk tak segan mencopot kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya jika pada proses PPDB 2019 tidak memakai Permendikbud 51/2018.
Pernyataan Armuji terasa sangat reaktif. Kurang substansif. Gegara MKKS (musyawarah kerja kepala sekolah) menghadap dirinya, serta merta politisi PDI-P itu berseloroh seakan tidak memperhatikan puluhan ribu orang tua siswa yang menangis, Menangisi sistem yang tidak menguntungkan bagi anak tercintanya!
Mereka terpaksa menyekolahkan sang anak di tempat yang kurang berkualitas dalam berbagai hal. Kurang memiliki fasilitas sarana dan prasarana. (Mungkin) juga soal guru. Guru pengajar di sekolah-sekolah di kota ini kemampuan proses belajar-mengajarnya kurang merata kualitasnya. Alhasil, jika raw material (bahan baku siswa kepandaiannya tidak merata) akan menjadi persoalan bagi sang guru itu.
Ini bisa dibuktikan, setiap tahun ajaran baru para orang tua peserta didik menyerbu sekolah-sekolah yang dinilai favorit untuk anaknya. Sekolah yang dianggap bisa mengantarkan anaknya ke masa depan yang lebih baik. Pun, sang anak tidak meminta untuk dilahirkan jauh dari sekolah yang berkualitas. Sekolah yang disebut sekolah favorit itu.
Jadi, pernyataan Armuji itu sama dengan memberi rasa sakit bagi para orang tua yang menginginkan anaknya sekolah di sekolah-sekolah berkualitas.(*)