Oleh Arief Sosiawan (Pemimpin Redaksi) Gugatan Rachmawati Soekarno Putri dan kawan-kawan terhadap uji materi terkait peraturan KPU (PKPU) tentang penetapan pasangan calon terpilih dalam Pilpres 2019 lalu dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tersebut sejatinya sudah ada sejak 28 Oktober 2019. Tapi, MA baru memublikasikan putusannya di situs MA pada 3 Juli 2020. Mengapa putusan tersebut baru dipublikasikan sembilan bulan berselang dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, dan sejauh mana putusan itu memengaruhi keabsahan hasil Pilpres 2019, kini menjadi pertanyaan banyak kalangan. Alih-alih mendapat jawaban positif, beberapa pakar hukum tata negara terkenal di negeri ini justru menegaskan bahwa putusan itu tidak memberi pengaruh apa pun terhadap kedudukan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Tegasnya, putusan MA itu tidak berdampak apa-apa terhadap pasangan yang kini sedang pusing tujuh keliling menangani wabah corona virus disease (Covid-19). Alhasil, pemerintah justru mendapat tudingan miring jika putusan MA itu sengaja diluncurkan atau diviralkan agar rakyat Indonesia tidak lagi konsentrasi melawan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang sedang diperjuangkan wakil rakyat di Senayan. Betapa tidak, RUU HIP itu oleh rakyat Indonesia (mayoritas) dinilai tak sesuai dengan Pancasila. Lebih-lebih RUU HIP dibuat--di antaranya--sebagai upaya mengganti Pancasila menjadi Trisila dan bahkan sampai Ekasila. Tentu ini masalahnya. Karena, Pancasila sebagai dasar negara bagi negeri merah-putih sudah final. Tak bisa diutak-atik lagi, apalagi sampai menjadi Ekasila yang filosofinya fokus pada gotong royong. Tak hanya itu, suka tidak suka, senang tidak senang, setuju tidak setuju, perlawanan rakyat muncul karena RUU HIP "dibumbui" oleh sekelompok orang yang ingin menghidupkan kembali ideologi komunis. Ideologi yang sangat dibenci oleh rakyat Indonesia. Kembali ke putusan MA nomor 44 tahun 2019, meski tak memberi pengaruh pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, tapi putusan ini cukup berbahaya dan mengancam pelaksanaan pilkada serentak tahun ini. Dengan kata lain, putusan tersebut sangat mengerikan bagi siapa pun sosok yang akan bertarung di perebutan pemerintahan level kota dan kabupaten. Buktinya kompetisi sekelas presiden saja bisa “dimerah-birukan”. Bisa dimain-mainkan. Bisa dikerjakan dengan segala cara. Sehingga, keberadaan demokrasi dinegeri ini masih sangat tidak berkelas. Apalagi, kompetisi mencari sosok terbaik untuk memimpin kota dan kabupaten dalam pilkada serentak tahun ini masih menggunakan PKPU lama yang memicu adanya gugatan, bukan tidak mungkin dipakai sebagai ajang me“merah-biru”kan kelompok tertentu yang ngiler (tergiur) atas kedudukan wali kota atau bupati dengan cara bermain mata bersama penyelenggara pemilu (pemilihan umum). Jadi, belajar dari putusan MA yang berbeda dengan putusan MK pada proses penetapan pemenang Pilpres 2019, warning bagi KPU (komisi pemilihan umum) daerah, termasuk pada pilwali Kota Surabaya, agar tidak bermain curang meski sudah ada contohnya.(*)
Menunggu Pilkada Serentak tanpa Kecurangan
Sabtu 11-07-2020,12:12 WIB
Editor : Agus Supriyadi
Kategori :