Perjalanan Penuh Perjuangan

Jumat 26-12-2025,07:31 WIB
Reporter : Fatkhul Aziz
Editor : Fatkhul Aziz

Di sebuah ruas tol yang membentang antara Jakarta dan entah ke mana, waktu tampaknya berhenti, meski mesin-mesin terus menderu. Kita menyebutnya "Nataru"—sebuah akronim yang ringkas, namun di dalamnya tersimpan ribuan kilometer keletihan, kecemasan, dan rindu yang tak kunjung lunas.

Tahun ini, konon ada lebih dari 100 juta jiwa yang bergerak. Angka-angka dari Kementerian Perhubungan itu bukan sekadar statistik; mereka adalah kumpulan napas di dalam kabin mobil yang sempit, anak-anak yang tertidur di kursi belakang, dan doa-doa yang digantungkan pada spion tengah. Jalan raya, dalam hari-hari ini, bukan lagi sarana transportasi. Ia telah berubah menjadi sebuah katedral sekaligus palagan.

BACA JUGA:Nataru Penuh Haru


Mini Kidi--

Ada sesuatu yang ganjil dalam ritual tahunan ini. Di satu sisi, kita merayakan kedatangan Sang Juru Selamat yang lahir dalam kesenyapan kandang domba, atau kita menyongsong tahun yang baru dengan kembang api yang riuh. Namun, untuk mencapainya, kita bersedia terjebak dalam kemacetan yang beku di Cipali, mengantre berjam-jam di dermaga Merak yang pengap, atau merayap di tanjakan Puncak yang berkabut.

Mengapa kita begitu gigih? Mungkin karena bagi manusia modern, "rumah" bukan lagi sebuah koordinat tetap, melainkan sebuah nostalgia yang harus direbut kembali melalui perjuangan aspal.

BACA JUGA:Kota yang Runtuh dalam Asap

Namun, di tengah keriuhan itu, maut sering kali datang tanpa mengetuk pintu. Data Korlantas Polri setiap tahunnya mencatat ribuan kecelakaan. Rem yang blong di turunan tajam, kantuk yang menyerang di kilometer yang menjemukan, atau sekadar ketidaksabaran untuk mendahului satu detik lebih cepat. Di sana, kegembiraan Natal dan harapan Tahun Baru bisa seketika patah menjadi rongsokan besi dan tangis yang sunyi.

Kita sering lupa bahwa kecepatan adalah sebuah ilusi tentang kendali. Di jalan tol yang lurus, kita merasa menjadi tuan atas waktu. Padahal, pada setiap tikungan, ada kerapuhan yang mengintai. Kecelakaan di musim liburan adalah sebuah ingatan yang pahit: bahwa dalam ambisi kita untuk segera "sampai", kita sering mengabaikan proses untuk "menjadi"—menjadi manusia yang sabar, yang waspada, yang menghargai nyawa orang lain di jalur sebelah.

Mungkin, kemacetan adalah cara semesta memaksa kita untuk berhenti sejenak. Di dalam antrean kendaraan yang tak berujung, kita punya waktu untuk menatap wajah pasangan di samping, atau sekadar melihat awan yang berarak di langit yang sama. Sebuah ironi memang: kita harus terjebak dalam diam agar bisa benar-benar merasakan gerak kehidupan.

BACA JUGA:Kebaya dan Peta Sosial Nusantara

Nataru akhirnya bukan hanya tentang berapa kilometer yang telah ditempuh atau berapa jam yang dihabiskan dalam antrean. Ia adalah tentang perjalanan pulang yang sesungguhnya—bukan ke sebuah alamat, melainkan ke dalam diri sendiri.

Sebab di ujung jalan nanti, yang kita cari bukanlah pesta yang megah, melainkan sebuah keselamatan yang sederhana. Sebuah kepulangan yang utuh.

Kategori :