Kota, kita tahu, adalah upaya tak berkesudahan untuk melawan bumi. Melawan gravitasi, melawan keterbatasan cakrawala. Kita mendirikan tiang-tiang, menumpuk lantai demi lantai, membangun impian yang terbuat dari baja dan kaca, menjulang ke angkasa. Sebuah Apartemen di Hong Kong—seringnya—adalah metafora yang paling jujur tentang kepadatan, tentang kehidupan yang ditumpuk dalam kotak-kotak kecil, sebuah piramida ambisi di mana setiap inci persegi adalah emas. Lalu, ia terbakar.
Bukan sembarang kebakaran. Ia bukan sekadar kayu lapuk yang dimakan api di pedalaman sunyi. Ini adalah api yang melahap modernitas itu sendiri. Di jantung kota yang gemerlap, entah itu di Terra Drone Jakarta—sebuah nama yang mengandung janji akan pengawasan canggih, presisi, dan ketinggian—atau di lorong sempit sebuah high-rise di Kowloon, api menemukan ironi paling brutal.
BACA JUGA:Kebaya dan Peta Sosial Nusantara
Mini Kidi--
Kita mengira telah menjinakkan api. Kita telah memasang sensor, alarm yang meraung dengan suara digital, sistem penyiram air yang canggih. Kita menyebutnya, dengan keyakinan yang naif, sistem keselamatan—sebuah jaring pengaman yang kita rajut dari protokol dan teknologi.
Namun, dalam hitungan menit, semua itu menjadi lelucon.
Api punya cara untuk membuktikan bahwa kita selalu saja terlambat. Ia tak peduli dengan kode bangunan, tak peduli dengan izin Amdal, bahkan tak peduli dengan nama perusahaan yang terukir di lobi marmer. Api adalah hakikat yang paling purba, yang kita masukkan dalam rumah kaca dan kita lupakan. Dan ketika ia meradang di ketinggian, di antara lapisan fasad yang ternyata hanya kosmetik, atau di dalam sistem kabel yang terlalu rumit, ia mengubah bangunan itu menjadi cerobong asap yang mewah, sebuah tugu peringatan bagi kesembronoan arsitektural kita.
BACA JUGA:Ambisi di Perahu Besar Milik Gusti Allah
Kita melihat sisa-sisa hangus. Bukan hanya kerangka baja, tapi juga sisa-sisa narasi yang kita bangun: bahwa gedung pencakar langit adalah simbol kemajuan yang tak bisa dibantah. Kita lupa bahwa semakin tinggi kita membangun, semakin tinggi pula risiko yang kita tumpuk di atas kepala.
Di balik berita duka dan penyelidikan forensik yang teliti—mencari sebab pasti yang selalu terasa dingin dan tak memuaskan—ada jeda yang sunyi. Sebuah pertanyaan yang tak terucapkan: Mengapa, setelah semua kemajuan ini, setelah kita mampu mengirim robot ke Mars, kita masih bisa dikalahkan oleh sebatang kabel pendek yang memicu malapetaka?
Mungkin inilah inti dari tragédi yang berulang: kita merancang untuk keindahan dan fungsionalitas, namun kita gagal merancang untuk kelemahan manusia—kelemahan dalam pengawasan, kelemahan dalam kepatuhan, dan, yang paling mendasar, kelemahan dalam mengingat bahwa di setiap materi yang kita gunakan, ada potensi kehancuran yang tersembunyi.
BACA JUGA:Tubuh yang Tidak Bergerak
Kota-kota ini, yang kita cintai karena ambisi dan kecepatan geraknya, kadang-kadang terasa seperti sedang berbisik: Lihatlah aku. Aku terbuat dari api dan abu, sama seperti kalian. Dan asap yang mengepul dari lantai atas sebuah kantor bergengsi atau sebuah apartemen mewah, adalah napas berat kota yang sedang merenungi nasibnya sendiri, merenungi ketinggian yang—ternyata—hanyalah jarak menuju jatuhnya yang lebih menyakitkan.