Jangan Menunggu Bencana Baru Bergerak

Sabtu 06-12-2025,07:07 WIB
Reporter : Aris Setyoadji
Editor : Aris Setyoadji

Setiap kali bencana terjadi, pola kita selalu sama yakni kaget, panik, lalu tergesa-gesa menggelar bantuan.

Ketika banjir bandang menerjang, longsor menimbun rumah, atau gempa mengguncang, kita langsung bergerak serentak, tetapi selalu setelah semuanya terjadi.

Seolah negeri ini bukan salah satu negara paling rawan bencana di dunia, padahal hampir setiap tahun musibah datang tanpa jeda.


Mini Kidi--

Masalah terbesar kita sebenarnya bukan kurangnya sumber daya, tetapi kurangnya kesiapan.

Kita sibuk setelah bencana, namun tidak sungguh-sungguh mempersiapkan diri sebelum bencana datang.

Banyak daerah tampak aktif ketika kamera media menyorot, sementara upaya pencegahan sehari-hari nyaris tak terlihat.

Peringatan BMKG sering hanya lewat di permukaan, rencana mitigasi tidur manis di rak kantor, dan persoalan tata ruang dibiarkan hingga akhirnya memakan korban.

BACA JUGA:Prostitusi Tidak Pernah Mati

Kelemahan lain terlihat dari logistik, karena setiap kali bencana muncul, kalimat yang berulang terdengar adalah bantuan sedang disiapkan.

Padahal idealnya, bantuan itu sudah tersedia dan tinggal dikirim.

Banyak warga pada akhirnya bergantung pada donasi publik karena stok pemerintah tidak siap.

BACA JUGA:Membangun Karakter Siswa atau Sekadar Menciptakan Ketakutan

Solidaritas masyarakat bergerak cepat, tapi negara semestinya bergerak lebih cepat.

Edukasi bencana kepada warga pun masih jauh dari memadai.

Simulasi kebencanaan sering sekadar seremoni tahunan.

Padahal masyarakat harus tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang, ke mana harus lari, apa yang perlu dibawa, hingga kapan harus mengungsi.

BACA JUGA:Smart City Tanpa Smart People Hanya Jadi Proyek Hiasan

Ironisnya, kita masih sering melihat warga sibuk merekam bencana demi konten, padahal keselamatan diri taruhannya.

Koordinasi antar daerah juga menjadi masalah klasik.

Sungai tak mengenal batas administratif, tetapi birokrasi kita masih sibuk menentukan siapa yang berwenang.

Kadang alat berat terlambat datang bukan karena tidak tersedia, melainkan terkunci urusan administrasi.

Korban pun bertambah hanya karena koordinasi tersendat.

BACA JUGA:Rotasi Pejabat Jadi Ujian Nyata Transformasi Birokrasi Daerah

Karena itulah kita harus mengakui satu hal yakni budaya panik bukan strategi.

Harusnya memperkuat tebing sungai jauh lebih bijak daripada mengevakuasi ribuan warga.

Membangun peringatan dini lebih efektif daripada terburu-buru menyalurkan logistik.

Sudah saatnya kita berhenti menjadi bangsa yang selalu reaktif.

BACA JUGA:Bank Sampah dan Ilusi Hijau, Sudahkah Kita Jujur Mengelola Limbah

Mitigasi bukan kegiatan tambahan, tetapi kebutuhan pokok.

Negara perlu tegas dalam penataan ruang, serius membangun sistem peringatan dini, menyiapkan logistik yang selalu siap pakai, dan rutin mengedukasi masyarakat.

Masyarakat pun harus mau belajar, karena keselamatan bukan hanya urusan pemerintah.

BACA JUGA:Pesta di Surabaya Membuka Luka Lama

Bencana tidak pernah lelah datang, yang harus berubah adalah kesiapan kita.

Jika ingin mengurangi korban, kita jangan menunggu bencana baru bergerak.

Kita harus mendahului bukan sekadar bereaksi.

Kategori :