Bagi saya, Surat Kabar Harian Memorandum bukan sekadar media cetak. Di balik setiap halamannya, tersimpan kenangan perjalanan hidup yang tak terpisahkan. Sebelum mengenakan toga jaksa, saya pernah menjadi bagian dari keluarga besar Memorandum, sebagai wartawan wilayah Bojonegoro, tanah kelahiran saya sendiri.
Dunia jurnalistik menjadi pintu pertama yang membuka jalan bagi saya memahami makna tanggung jawab, kebenaran, dan kejujuran. Darah jurnalis mengalir dari ayah saya. Namun waktu menuntun langkah saya menempuh jalan lain: mengabdi di pilar keadilan, menjadi seorang jaksa. Meski arah berubah, nilai-nilai yang saya pelajari di Memorandum tetap tertanam kuat — ketelitian, integritas, dan keberanian menyuarakan yang benar.
Kini, ketika Memorandum menapaki usia ke-56 tahun pada 10 November ini, saya memandangnya dengan rasa bangga dan haru. Di tengah derasnya arus digital yang menggulung banyak media cetak, Memorandum tetap berdiri tegak. Ia tumbuh, tangguh, dan terpercaya — sebagaimana tema peringatan tahun ini.
Saya tahu, mempertahankan media cetak bukan perkara mudah. Dibutuhkan keberanian, kreativitas, dan keyakinan untuk terus bergerak di tengah perubahan. Namun, Memorandum membuktikan, bahwa semangat pers sejati tak bisa ditelan waktu.
Konsistensi itu tentu tak lepas dari tangan-tangan gigih insan redaksi, serta warisan semangat dari pendirinya, almarhum H Agil H Ali — tokoh pers asal Palu yang menyalakan bara jurnalisme dari ruang kampus Universitas Brawijaya, Malang yang lahir bernama Mingguan Mahasiswa (MM) yang kini menjadi MM (Memorandum).
Setengah abad lebih perjalanan ini adalah kisah ketekunan yang patut dikenang. Sebagai bagian kecil dari sejarah itu, saya merasa berhutang rasa hormat.
Selamat ulang tahun ke-56 untuk SKH Memorandum!
Teruslah menjadi penjaga nurani publik, penegak kebenaran, dan pelita bagi masyarakat Jawa Timur dan Indonesia. (*)
Dr Didik Farkhan Alisyahdi SH, MH
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan