Bisnis Gue Temenin Jalan, Luka di Balik Gemerlap Kota

Jumat 03-10-2025,08:00 WIB
Reporter : Fatkhul Aziz
Editor : Fatkhul Aziz

Ada yang retak dalam gemerlap kota-kota kita. Di tengah hiruk-pikuk mal, deru motor, dan riuh media sosial, lahir sebuah bisnis yang pilu: Gue Temenin Jalan. Bayangkan: persahabatan, kehadiran, percakapan—hal-hal yang dahulu dianggap anugerah—kini menjadi komoditas yang bisa dipesan lewat aplikasi. Anda bayar, seseorang datang, mendengar, dan menemanimu berjalan, seolah-olah segalanya baik-baik saja.

Fenomena ini bukan sekadar keanehan pasar. Ia adalah cermin dari sebuah kesepian yang dalam, sebuah luka sunyi di jantung peradaban urban. Kita hidup dalam kepadatan yang semu. Tetangga tidak saling mengenal, pertemuan di kafe sering diselingi oleh layar ponsel, dan percakapan di ruang digital lebih banyak tentang pamer daripada berbagi. Dalam keramaian ini, kita justru merasa sendiri.

BACA JUGA:Vaksin Kanker Rusia dan Impian Abadi


Mini Kidi--

Layanan teman sewaan ini adalah respons pragmatis terhadap krisis kehadiran. Sebagaimana dicatat oleh riset, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam masalah kesehatan mental, dengan kesepian sebagai salah satu pemicu utamanya. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health (2023) menyoroti bagaimana generasi muda perkotaan, meski terhubung secara digital, melaporkan tingkat kesepian yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya.

Ini adalah paradoks zaman: kita terhubung lebih dari sebelumnya, namun merasa terisolasi. Sosial media, alih-alih mendekatkan yang jauh, justru sering menjauhkan yang dekat. Kita sibuk mengkurasi kehidupan untuk konsumsi publik, hingga lupa bagaimana menjalani kehidupan yang sesungguhnya untuk diri sendiri.

BACA JUGA:Dunia Berkubu dalam Bayangan Senjata

Bisnis Gue Temenin Jalan adalah gejala, bukan penyakit. Ia adalah tanda bahwa hasrat paling manusiawi—untuk didengar, diakui, dan ditemani—telah teralienasi oleh struktur masyarakat modern. Kita sampai pada titik di mana keintiman harus dibeli, karena ruang publik untuk membangunnya secara organik telah menyempit.

Tapi, adilkah menyalahkan kota? Mungkin tidak. Kota hanyalah panggung. Masalahnya lebih dalam: pada cara kita berelasi, pada nilai-nilai yang kita anut, pada kecepatan hidup yang meminggirkan yang lembut dan personal.

Layanan ini, dalam kepiluannya, juga mengandung secercah harapan. Ia menunjukkan bahwa di tengah segala keterpecahan, hasrat untuk manusiawi itu tak pernah padam. Orang masih merindukan percakapan yang hangat, tawa yang spontan, kehadiran yang tanpa syarat—meski untuk itu mereka harus membayar.

BACA JUGA:Mendengarkan Héctor Lavoe, Melihat Dunia Bekerja

Akhirnya, bisnis teman jalanan ini adalah sebuah kritik diam-diam. Sebuah pertanyaan yang menggantung: sampai kapankah kita akan mentolerir kehidupan di mana kehangatan menjadi barang dagangan? Dalam diam yang dibeli dari seorang teman, mungkin terselip sebuah rindu akan dunia di mana kita tidak perlu membayar untuk sekadar dikatakan, Aku di sini untukmu. Sebuah dunia yang, meski semakin sulit ditemui, tetap menjadi kerinduan kita yang paling manusiawi.

Kategori :