Isu dugaan korupsi kuota haji tambahan 20 ribu yang kini disidik KPK menyedot perhatian publik. Dari 20 ribu tambahan itu, diputuskan 10 ribu dialokasikan untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus (PIHK).
Keputusan ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Agama (SK Menag No. 130/2024, 15 Januari 2024).
Dari sinilah kontroversi bermula: apakah pembagian 50:50 itu sah atau justru menyalahi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah?
Di ruang publik, framing yang paling nyaring adalah: PIHK telah mencuri kuota haji reguler. Namun, mari kita bedah dengan jernih: benarkah tuduhan itu serta-merta bisa dipukul rata kepada semua PIHK?
Mini Kidi--
Pintu Masuk
PIHK tidak bisa menciptakan kuota haji sendiri. Mustahil mereka memberangkatkan jemaah tanpa dasar hukum berupa keputusan resmi pemerintah.
Surat keputusan itulah yang menjadi pintu masuk. Jika SK tersebut sah, maka langkah PIHK sah. Jika SK itu keliru, maka yang patut disorot pertama-tama adalah proses pengambilan keputusan dan pihak yang berwenang menandatangani, bukan PIHK yang sekadar menjalankan.
Dengan kata lain, PIHK dalam hal ini berada di hilir kebijakan, bukan di hulu pengambil keputusan.
Maka, melabeli seluruh PIHK sebagai pencuri kuota reguler jelas tergesa-gesa dan tidak adil.
Dua Tafsir Hukum
UU No. 8 Tahun 2019 memang mengatur secara tegas soal kuota haji Indonesia:
Pasal 64 ayat (2):
"Jumlah jamaah haji khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 8% (delapan persen) dari jumlah kuota haji Indonesia."
Dengan pasal ini, pembagian 50:50 jelas menyalahi aturan.