Suara Héctor Lavoe itu mengalun, jernih dan sedikit serak, dari pita suara yang sudah lama berpulang. Ia menyanyikan Periódico de Ayer — surat kabar kemarin. Sebuah lirik tentang cinta yang sudah lewat, yang tak lagi menjadi berita. Kisah yang sudah basi. Saya membiarkan lagu itu meresap, iramanya pelan-pelan mengisi ruang, membuat saya larut. Namun, di tengah-tengah alunan musik itu, tiba-tiba sebuah berita muncul di layar. Israel membombardir Doha, ibu kota Qatar.
Seketika itu, musik Lavoe terasa seperti ilusi. Ilusi akan masa lalu yang tenang, yang dapat diarsipkan dalam sebuah lirik lagu. Realitas tiba-tiba menerobos, kasar dan tidak romantis. Saya terpikir, dunia ini rupanya bekerja dengan cara yang begitu brutal, hampir tanpa jeda. Kekerasan dan militerisme seolah menjadi denyut nadi zaman. Tak hanya di sana, kabar dari Nepal juga datang. Demonstrasi anarkis berujung pada runtuhnya pemerintahan dan digantikan oleh militer. Ada juga bayangan tentang kerusuhan di beberapa kota di Indonesia. Massa yang membakar, menjarah, seperti tak peduli pada apa yang tersisa setelah api padam. Di Ukraina, perang terus berlarut-larut, tak ada ujungnya.
BACA JUGA:Sandaran Ekonomi
Mini Kidi--
Lagu Lavoe seolah menjadi ironi yang perih. Ia bernyanyi tentang surat kabar kemarin, sementara saya menyaksikan berita-berita hari ini yang terasa seperti pengulangan. Sejarah yang terus berputar, menampilkan adegan-adegan yang sama dengan pemain yang berbeda.
Tu amor es un periódico de ayer, que nadie más procura ya leer. (Cintamu adalah koran kemarin, bahwa tidak ada orang lain yang mencoba membaca lagi).
Kutipan itu seolah menyinggung bagaimana peristiwa kekerasan ini begitu cepat menjadi usang. Sensasional ketika ia terjadi, menjadi berita utama yang memenuhi seluruh halaman. Semua orang membaca, menyebarkannya di mana-mana. Namun, begitu cepat ia terlupakan, seperti sebuah "komentar yang lahir di pagi hari, dan pada sore hari itu terlupakan." Berita-berita ini, yang begitu menyakitkan, begitu memilukan, hanya menjadi tumpukan kertas bekas, 'materi yang terlupakan' di tumpukan koran kemarin.
BACA JUGA:Request untuk Menpora Anyar
¿Y para qué leer, un periódico de ayer? Oye noticia que todos saben, ya yo no quiero leer. (Dan mengapa membaca koran kemarin? Hei, berita yang semua orang tahu, saya tidak ingin membacanya lagi).
Lalu Lavoe bertanya dengan lugas, "Untuk apa membaca surat kabar kemarin?" Sebuah pertanyaan retoris yang menggema dalam diri saya. Untuk apa kita terus-menerus mengulang sejarah yang sama? Untuk apa kita terus membaca kisah yang sama, kisah tentang amarah yang ditunggangi harapan palsu? Di satu sisi, ada 'cinta' — atau mungkin kita sebut saja nasionalisme — yang disemai dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik, akan tanah yang lebih subur, akan masa depan yang lebih cerah. Namun, sering kali, harapan itu ditunggangi oleh amarah yang membabibuta. Ia menjadi kendaraan untuk menghancurkan, untuk menjarah, demi sebuah tujuan yang seolah-olah hanya bisa dicapai dengan kekerasan.
¿Qué te pasa, estas llorando? Tienes alma de papel. (Apa yang terjadi, apakah kamu menangis? Kamu memiliki jiwa dari kertas).
Kita memiliki jiwa dari kertas, mudah koyak, mudah terbakar. Dan karena kertas dapat menahan segalanya, kita pun memperlakukan satu sama lain dengan cara yang sama. Kita menuliskan sejarah kita dengan tinta darah, lalu kita lipat, dan kita buang. Ia tak lagi menjadi berita yang signifikan, hanya catatan kaki yang terlupakan.
BACA JUGA:Hannibal Lecter dengan Kearifan Lokal
Analizate tu historia, y así podrás comprender. (Analisis sejarahmu, dan dengan demikian kamu akan dapat memahaminya).
Pada akhirnya, di tengah-tengah semua kekacauan ini, yang tersisa hanyalah pertanyaan: apakah kita benar-benar belajar dari sejarah? Kita terus-menerus menulis 'surat kabar kemarin' dengan tinta darah, lalu menyimpannya, hanya untuk mengulanginya kembali esok hari. Dunia terus bekerja, dengan cara yang paling keras, sementara kita hanya bisa mendengarkan lagu-lagu sedih yang mengulang kisah yang sama, 'di halaman tersembunyi, di sana aku menemukanmu.'