Membaca Puing di Hari Maulid

Jumat 05-09-2025,08:00 WIB
Reporter : Fatkhul Aziz
Editor : Fatkhul Aziz

Di Jakarta, puing-puing itu bukan hanya arang. Ia adalah sisa-sisa sebuah jerit yang tak terucap. Halte Transjakarta yang hangus, Stasiun MRT yang sempat disasar, atau gerbang tol yang roboh menjadi saksi bisu betapa marahnya kita. Api, seperti kata orang bijak, adalah sebuah niat. Tapi niat apa yang tersembunyi di balik sebuah amarah yang buta? Sebuah pertanyaan yang membakar lebih hebat dari ledakan molotov.

Lima September, Hari Maulid. Ketika umat mengenang lahirnya seorang insan yang diutus untuk menyempurnakan akhlak. Ribuan spanduk terbentang. Barisan doa dan zikir menggema di masjid-masjid. Kita merayakan sosok yang mengajarkan belas kasih, bahkan kepada musuhnya. Kita mengenang beliau yang mendamaikan, yang menyatukan hati yang tercerai.

BACA JUGA:Bumi Gonjang Ganjing


Mini Kidi--

Namun, hanya beberapa hari sebelumnya, kita menyaksikan sebuah ironi yang begitu menyayat. Di Makassar, api bukan hanya membakar Gedung DPRD, ia juga merenggut nyawa. Di Surabaya, sebuah warisan sejarah berusia dua abad, Gedung Negara Grahadi, menjadi korban. Kemarahan itu tidak memilih, ia membakar jejak. Sementara di Yogyakarta, Kediri, Mataram, Malang, dan kota-kota lain, kobaran api yang sama menyala, meninggalkan kerangka-kerangka hangus sebagai tugu peringatan atas kegagalan kita.

Pesta amarah telah usai, menyisakan kerugian materiil Rp1 triliun—sebuah angka yang mustahil mengukur harganya. Seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani di media sosialnya, kerugian terbesar adalah hilangnya kepercayaan dan persaudaraan. “Indonesia tidak bisa dibangun di atas ketidakpercayaan,” tulisnya. Sebuah kalimat yang menusuk, mengurai bahwa luka yang sebenarnya bukan ada pada beton yang hangus, melainkan pada hati yang koyak.

BACA JUGA:Mulutmu Harimaumu

Di tengah kebencian yang masih terasa, Maulid Nabi datang sebagai cermin. Kita tidak diwarisi kekerasan. Kita diwarisi sebuah teladan tentang bagaimana sebuah komunitas yang hancur bisa dibangun kembali, bukan dengan amarah dan kebencian, melainkan dengan memaafkan dan bergotong royong. Nabi Muhammad tidak mendirikan peradaban di atas puing-puing dendam, melainkan di atas fondasi kasih sayang. Beliau mengubah amarah menjadi energi untuk berbuat baik, mengubah kegelapan menjadi pencerahan.

Maka, perayaan Maulid hari ini seharusnya bukan hanya seremoni, melainkan sebuah aksi nyata. Saat kita membersihkan puing-puing mobil dinas yang hangus, mari kita juga membersihkan hati dari dendam dan kebencian. Rp1 triliun mungkin telah hilang, tapi kita memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: ajaran untuk membangun kembali. Mari kita mulai pekerjaan yang paling sulit: memulihkan kepercayaan dan mencari kembali cinta yang telah hilang. Sesuatu yang jauh lebih mahal dari satu triliun rupiah.

Kategori :