Cinta Satu Malam dan Memori Tak Berjejak

Jumat 08-08-2025,08:00 WIB
Reporter : Fatkhul Aziz
Editor : Fatkhul Aziz

Melinda menyanyikan Cinta Satu Malam dan kita pun melihat pantulan diri kita di sana. Bukan, bukan soal esensi cinta itu sendiri. Lebih pada hasrat yang menyala lalu padam. Meninggalkan kenangan tapi tak pernah benar-benar menjadi sejarah.

Hasrat. Ya, hasrat sering kali menjadi mesin penggerak, mendorong kita meluncurkan rencana-rencana besar. Proyek-proyek ambisius. Tanpa peta tanpa rancangan untuk esok. Semua terasa cukup di hari itu, untuk kenikmatan saat itu juga.

Kita hidup di era serba-segera. Semua harus instan. Harus berkesan. Lalu lekas berlalu. Cepat datang. Cepat pergi. Seperti troubadour, datang membawa lagu, lalu pergi tanpa jejak.

Ambil contoh Artsubs. Dicanangkan sebagai mercusuar seni rupa baru di Surabaya. Sebuah kiblat. Niatnya mulia. Hasratnya begitu menggebu. Tapi kenyataannya? Venuenya bongkar-pasang. Setelah acara usai, yang tersisa hanyalah ruang kosong.

Tak ada petilasan untuk diziarahi. Tak ada sisa yang bisa diraba, dipeluk, atau menjadi monumen. Hanya kenangan yang bersarang di kepala orang-orang yang sempat datang. Sangat personal. Sangat partikular.

Perihal Artsubs 2025 yang lebih canggih, lebih imersif, dan terorganisir seperti dilansir sejumlah media massa justru menguatkan gagasan ini. Disebutkan bahwa Artsubs 2025 lebih terkurasi. Menggunakan teknologi AR dan AI. Tema yang lebih konkret, Material Ways. Lokasi yang berpindah dari Pos Bloc ke Balai Pemuda. Semua tampak lebih terencana, lebih matang dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan adanya evolusi, dari yang semula mungkin terlihat seperti hasrat sesaat, menjadi sesuatu yang perlahan-lahan mencoba membangun fondasi.

Namun, apakah ini cukup? Sebuah proyek yang berpindah-pindah lokasi, gonta-ganti tema, dengan perbandingan yang baru bisa kita lihat setelah setahun berlalu. Seolah setiap tahun adalah edisi yang berbeda, bukan bagian dari satu nafas yang panjang.

Artsubs 2024 dan 2025 menjadi dua entitas yang berbeda. Satu adalah Ways of Dreaming di Pos Bloc, yang lain Material Ways di Balai Pemuda. Keduanya punya cerita, punya kenangan, namun tidak berkelanjutan dalam sebuah narasi yang utuh. Setiap edisi adalah sebuah pengalaman yang terisolasi, sebuah cinta satu malam yang indah di tahunnya, namun tidak terhubung menjadi pernikahan yang langgeng.

Dalam kurun waktu yang lama, kenangan personal semacam ini hanya menjadi mitos. Tidak pernah menjadi sejarah yang bisa diakses, dipelajari, dan diwariskan secara kolektif. Ia hanya cerita lisan, yang mungkin suatu hari akan memudar dan menghilang. Cinta satu malam, begitu barangkali bisa dikiaskan. Sebuah pengalaman yang intens, indah, namun fana.

Fenomena ini, sayangnya, sangatlah tipikal. Tidak hanya di ranah seni atau komunitas. Ia juga merayap hingga ke institusi-institusi besar. Bahkan di lingkup pemerintahan.

Kita melihatnya di program-program yang dibuat hanya untuk satu kali pertunjukan. Proyek-proyek mercusuar yang megah, tapi tak punya keberlanjutan. Sebuah pesta yang meriah, tapi setelah lampu dimatikan, semua kembali sunyi. Tak ada jejak, tak ada petilasan yang bisa dipeluk.

Pesta tahun ini meriah, tapi setelah selesai, kita akan menunggu pesta tahun depan. Tidak ada rumah yang bisa kita ziarahi setiap saat. Tidak ada arsip yang utuh. Yang tersisa hanya berita di media, yang juga akan tertimbun oleh berita-berita lain. Ia menjadi mitos, bukan sejarah.

Pada akhirnya, proyek-proyek semacam ini, meski semakin canggih, semakin besar, dan semakin interaktif, masih rentan menjadi memori yang tak berjejak. Ia akan tetap menjadi cerita personal di kepala mereka yang datang, terlepas dari seberapa canggihnya teknologi AR yang mereka tawarkan. Karena sejarah tak dibangun dari satu malam, melainkan dari jejak-jejak yang terus menerus dipupuk. Dan jejak-jejak itu, seringkali, tidak kita temukan.

Kita, barangkali, perlu belajar dari troubadour. Ia datang, bernyanyi, lalu pergi. Tapi lagunya, jika ia istimewa, akan terus dinyanyikan. Sayangnya, banyak dari proyek kita hanya meninggalkan gema. Bukan lagu. Namun, harapan itu selalu ada. Bahwa suatu saat nanti, hasrat yang membara itu akan menemukan jalannya untuk diabadikan, bukan sekadar dikenang sesaat. Bahwa gema-gema itu, perlahan, akan merangkai melodi yang utuh. Menjadi lagu yang tak lekang dimakan waktu.(ziz)

Kategori :

Terkait