Oleh: Dahlan Iskan
Pohon besar ini sangat bersejarah. Lahan di bawah pohon itu mampu memasok 70 persen opium dunia.
Saya mendongakkan kepala. Pohon itu sangat tinggi. Gagah. Rimbun. Umurnya sudah ratusan tahun.
Pohon inilah yang pernah jadi “ibu kota” wilayah istimewa ini. Yang dulu amat terkenal. Legendaris. Dengan sebutan Golden Triangle. Yakni, satu wilayah “pertigaan” misterius antara Myanmar-Thailand-Laos.
Saya menatap pohon itu. Mendongak. Mengamati pucuknya. Yang menyatu dengan awan.
Saya ingin mendapatkan pembenaran kisah legendanya. Dari kesaksian bisunya. Tapi, pohon itu terlalu tinggi untuk ditanya. Hanya, kegagahan batangnya yang meyakinkan. Dan kerimbunan daunnya menguatkan. Bahwa pohon itu memang seperti backing yang kuat. Untuk sebuah kejahatan legendaris. Yang menghancurkan kehidupan manusia.
Kalimat-kalimat di atas adalah penggalan tulisan saya. Tepat 10 tahun lalu. Setelah saya ke Doi Tung. Yang sudah saya modifikasi.
Minggu lalu saya ke Doi Tung lagi. Ingin mencari pohon itu. Yang 10 tahun lalu saya coba interview. Dengan bahasa imajinasi.
Saya tidak berhasil menemukannya. Doi Tung sudah berubah total. Sudah jadi hutan. Dan jadi daerah wisata. Yang mendatangkan begitu banyak turis.
Saya yakin pohon besar itu benar-benar ada. Bukan pohon khayalan. Saya pernah mencoba merangkulnya. Gagal. Terlalu besar untuk lingkar tangan saya.
Saya begitu bangga pada proyek Doi Tung ini. Yang 10 tahun lalu baru diawali pengerjaannya. Kini sudah tinggal memetik hasilnya.
Dulu saya sempat ragu. Apakah proyek ini bisa berhasil. Untuk jangka panjang. Terlalu besar tantangannya. Terlalu berat medannya. Terlalu luas jangkauannya.
Ternyata proyek ini berhasil lestari. Tidak ada lagi yang kambuh menanam opium. Tidak muncul lagi perdagangan obat bius. Yang dulu transaksinya di sekitar pohon besar itu.
Sepanjang jalan berliku itu saya hanya melihat hutan baru. Pohon-pohon macadamia. Dan kebun-kebun bunga.
Kali ini saya tidak naik-naik gunung yang lebih tinggi. Yang lahan opiumnya sudah menjadi perkebunan kopi. Kopi Doi Tung kini menjadi sangat terkenal.
Saya duduk-duduk di cafe di pusat wisata baru ini. Melihat orang belanja kopi. Yang dijual di kaleng-kaleng khusus.
Saya tidak membeli kopi. Saya bukan penggemar kopi. Tapi saya membeli macadamianya. Yang satu kaleng saya buka di situ. Saya nikmati. Sambil melihat alamnya.
Kisah Doi Tung adalah kisah sukses memerangi kejahatan. Sampai ke akarnya. Akar itu adalah kemiskinan. Bercampur dengan budaya.
Sebelas ribu warga di bukit-bukit itu hanya mewarisi keahlian menanam opium. Turun-temurun. Tidak pernah tahu pekerjaan lain.
Sudah pernah dicoba opium itu diberantas. Dengan kekerasan. Dengan operasi. Dengan senjata. Tapi sia-sia.
Perubahan terjadi 15 tahun lalu. Saat Ibu Suri berusia 90 tahun. Yakni nenek raja Thailand yang sekarang.
Di usia tuanya itu Ibu Suri membuat keputusan: meninggalkan hiruk-pikuk kota besar Bangkok. Ingin hidup menyepi di puncak gunung. Bersama rakyat kebanyakan. Yang dikenal sangat miskin.
Sang putra, Raja Rama IX, mendukung tekad ibunya. Yang ingin memperbaiki kehidupan rakyat miskin di pegunungan itu.
Diputuskanlah ini: Ibu Suri mengetuai proyek Doi Tung ini. Dengan memimpin langsung di lapangan. Dengan biaya dari kerajaan.
Kehadiran Ibu Suri sebagai ‘penduduk’ Doi Tung membuat rakyat tunduk pada rencananya. Apalagi ada jaminan bahwa tujuan semua program itu adalah peningkatan kesejahteraan.
Inilah program membangun tanpa menggusur. Mengubah tanpa menyakiti.
Cara lama diubah total. Dengan pendekatan kemanusiaan.
Kontak-kontak senjata yang pernah terjadi hanya menimbulkan banyak korban.
Sebuah kecurigaan ternyata hanya menimbulkan kebencian. Persenjataan ternyata hanya menimbulkan perlawanan. Hati ternyata harus diper-hati-kan dengan hati. Mulut harus disambung dengan perut.(*)