Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Malam sekitar pukul 23.00 Toni membuka pintu dan melangkah keluar. Dia susuri jalan tanpa arah. Melewati gapura gang. Melewati balai RW. Mendekati pasar. Tanpa sadar pandangannya tertuju sosok seorang perempuan yang meringkuk di bawah meja stan seorang pedagang.
Seperti kena tarik daya magnit, Toni mendekati perempuan yang berusia sekitar 70 tahun itu. “Ibuk sinten?” tanya Toni.
Perempuan itu menoleh dan memandang tajam mata Toni. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Diam tanpa kata. Menahan sakit tanpa merintih. Toni iba. Dibukanya dompet dan diulurkannya dua lembar uang pecahan Rp 100 ribu. “Kagem sarapan mbenjang, Buk nggih…,” tuturnya.
Perempuan tadi tidak beraksi. Membiarkan lembaran uang Toni ditiup angin dan hilang ditelan gelap malam. Jatuh entah di mana. Kini Toni tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Perlahan dia tinggalkan perempuan tadi, yang sepertinya berjuang keras menahan hawa dingin. Sebuah sarung usang yang robek di sana-sini dikeluarkan dari tas kresek kucel dan digunakan untuk menutupi tubuh.
Toni sempat membatin, “Apakah ibu itu sudah tidak punya keluarga sehingga harus hidup sendirian seperti itu?”
Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, bayangan perempuan tadi terus-menerus menggoda. Tiba-tiba ada keinginan untuk kembali dan menjemputnya untuk diajak ke rumah agar bisa tidur lebih nyaman. Lebih layak. Namun, bayangan istrinya marah-marah mementahkan niatan itu.
Pagi hari ketika bangun, Toni menemui istrinya dan berkata dengan tegas, “Aku ingin Ibu tetap di sini.”
“Aku ingin Ibu dititipkan di panti jompo. Ini keputusanku!” kata Maya lebih keras. Tandas.
“Tidak!”
“Kalau begitu, aku yang akan pergi. Aku akan tinggal di rumah Johan (anak sulung Toni-Maya yang sudah berumah tangga, red).”
Toni tidak lagi menanggapi ocehan Maya. Dia teringat perempuan semalam dan ingin membawanya ke rumah. Kasihan, setua itu harus hidup di luar rumah. Sendirian. Dengan segala keprihatinan. Toni tak peduli lagi apa kata Maya.
Dengan cepat Toni melangkah menuju pasar. Dari jauh tampak ramai sekali. Ada ambulans dan kerumunan massa. Begitu dekat, innalillahi wa’innailahi roji’un, perempuan semalam ditandu petugas medis. Seluruh tubuhnya ditutupi kain putih.
Dengan gontai Toni balik kanan. Sesampai di rumah, dia langsung menemui ibunya dan sujud di kedua kakinya. Tanpa suara dia menumpahkan air mata. Tanpa suara dia ekspresikan rasa cinta.
Yangti terkejut. Dia tidak tahu apa yang terjadi hingga Toni bersikap seperti itu. Dibelainya kepala di pangkuannya.
Bersamaan dengan itu, Maya keluar dari kamar dengan menyeret koper berukuran besar. Wajahnya tegang. Matanya merah. Langkahnya kaku patah-patah. Tanpa pamit kepada suami atau mertuanya, Maya menuju pintu dan bablas dengan mobilnya.
“Istrimu…” kata Eli lirih.
“Biarlah Bun. Dia sadar apa yang diperbuatnya.”
“Tapi dia istrimu.”
“Tapi Bunda ibuku.” (bersambung)