Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya
Toni (51) dan Maya (51), sama-sama bukan nama sebenarnya, 10 tahun berpacaran sejak kelas satu SMP. Mereka menikah begitu jret lulus kuliah. Pekerjaan tidak pernah jadi masalah karena orang tua masing-masing menduduki jabatan strategis di pemerintahan.
Masalahnya, tidak seperti masa pacaran yang selalu runtang-runtung ke mana pun kaki melangkah, kehidupan rumah tangga mereka tidak pernah akur. Toni berubah seperti burung merpati kehilagan sayap. Sengkleh.
Maya lebih mendominasi. Semua harus sesuai selera dan keinginan Maya. Satu kalimat saja Toni mengeluarkan pendapat, Maya akan mematahkannya dengan seribu kalimat. Sejuta kata.
Soal pilihan kuliah anak, misalnya. Bila Maya sudah memutuskan anak itu harus mengambil jurusan ekonomi, jangan sampai si anak memilih jurusan lain. Ketika Toni ikut-ikutan membelokkan pilihan istrinya, Maya bakal berargumen tentang keunggulan dan prospektif jurusan ekonomi. Mbah Gugel saja bisa kalah referensi.
Ada sifat lain Maya yang semasa pacaran tidak pernah muncul, namun sesudah menikah mewarnai tindak tanduknya. Yaitu, mau menang sendiri dalam segala hal. Akiatnya, setiap hari selalu saja terjadi silang pendapat. Dan, hal itu pasti berakhir dengan pertengkaran. Hal sekecil apa pun di mata Maya dipandang suuuaaangaaat buuueeesaaar dan pasti menimbulkan huru-hara.
Contoh, suatu hari Toni terlambat pulang kerja, padahal pada saat bersamaan dia harus mengantar Maya ke dokter. Toni dikata-katain sebagai suami yang tidak sayang istri, suami yang lemot, suami yang lembek. Dll dsb dst.
Kemarahan Maya bisa berlangsung semalam suntuk, bahkan ada kemungkinan bersambung hingga keesokan hari.Kasus lain, Maya yang setiap hari ditumpangi anaknya berangkat sekolah marah besar hanya lantaran sang anak terlalu lama sarapan. Sepanjang jalan anak tersebut dibentak-bentak atau dijendul-jendul kepalanya. Persis golekan ngik ngok.
Toni sering dikeluhi anak-anak soal ibunya yang kasar, suka marah-marah, dan mau menang sendiri. Mereka juga memprotes Toni yang terlalu lemah di depan ibu mereka.
Tapi, apa jawaban Toni? “Kita harus sabar menghadapi ibu kalian. Memang sudah wataknya begitu. Kita harus sadar. Harus sabar. Kalau tidak, di rumah kita akan selalu pecah peperangan.”
“Tapi sampai kapan?” kejar anak-anak.
Yang bisa dilakukan Toni hanya mengelus kepala anak-anak. Itu terjadi ketika anak-anal masih kecil. Tidak seperti sekarang. Mereka sudah dewasa. Yang paling kecil sudah beranjak remaja.
Sampai sekarang perilaku Maya tidak pernah berubah. Hanya, akhir-akhir ini yang terpaksa harus turut merasakan kesewenang-wenangan Maya tidak lagi anak-anak. Sebagian dari mereka sudah tinggal terpisah pascanikah.
Orang tua Toni yang kini harus merasakan dampak buruk tindak tanduk itu. Ibunya. Sebab, setelah ayahnya meninggal, ibunya tidak ada yang merawat. Toni sebagai anak tunggal jadi satu-satunya harapan sang ibu, sebut saja Eli, untuk di-ngengeri. Lantas, apa yang dilakukan Maya terhadap mertuanya? (bersambung)