MEMORANDUM.CO.ID – Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), asosiasi yang mewakili perusahaan rokok kecil dan menengah, mencurigai adanya rencana "pembunuhan sistematik" terhadap industri mereka jika Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait kemasan rokok polos diberlakukan.
Wakil Sekjen Formasi, Abdul Gafur, menyatakan bahwa penerapan RPMK yang menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Pelaksanaan UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan akan berdampak sangat buruk bagi industri rokok skala kecil dan menengah.
“Kami tidak bisa membayangkan dampaknya. Peredaran rokok ilegal pasti akan semakin marak, daya beli menurun, dan ujung-ujungnya terjadi PHK besar-besaran. Negara juga akan kehilangan pemasukan ratusan triliun jika RPMK ini disahkan,” ujar Abdul Gafur, Senin (23/9/2024), di kantornya.
Menurutnya, kebijakan penyeragaman kemasan rokok akan merugikan pengusaha kecil karena konsumen tidak bisa membedakan merek rokok yang mereka beli. Semua produk akan tampak sama, hanya dibedakan oleh gambar dan warna seragam.
Dr. Listia Natadjaja, Dosen sekaligus Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) Universitas Kristen Petra Surabaya, menambahkan bahwa penggunaan kemasan rokok polos akan bisa berdampak terhadap penjualan rokok di masyarakat.
Ia menyatakan bahwa masyarakat nantinya akan kesulitan membedakan antara rokok yang legal dan ilegal jika semua kemasan diseragamkan.
“Dengan kemasan yang seragam, rokok legal dan ilegal akan semakin sulit dibedakan karena tidak ada lagi identitas visual yang bisa digunakan konsumen untuk mengenali merek dan kualitas produk,” jelas Dr. Listia.
Ia juga menekankan bahwa dari sudut pandang desain, kemasan rokok memiliki peran penting dalam memberikan informasi dan identitas produk.
"Jika semua kemasan diseragamkan, maka nilai kompetitif di pasar akan hilang, dan ini akan merugikan perusahaan rokok legal karena mereka sudah mendaftarkan merek dan HAKI untuk desain kemasan dan lain sebagainya," tambahnya.
Dampak Ekonomi yang Meluas
Abdul Gafur juga menyoroti potensi peningkatan rokok ilegal. Saat ini, peredaran rokok ilegal mencapai 10 miliar batang per tahun, sementara produksi rokok oleh pengusaha skala menengah hanya 3 miliar batang per tahun. Ini menunjukkan tingginya risiko yang dihadapi industri rokok legal jika RPMK diberlakukan.
“Biaya produksi rokok ilegal tanpa cukai hanya Rp5.000 per 20 batang, sementara rokok legal mencapai Rp22.000 per 20 batang. Dari harga rokok legal, 70 persen masuk ke kas negara melalui cukai, dan kami hanya mendapat 30 persen yang harus mencakup biaya produksi. Dengan aturan baru ini, margin keuntungan semakin kecil,” katanya.
Sementara itu, Sekjen Formasi, JP Suhardjo, menegaskan bahwa asosiasi tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan RPMK ini. Ia merasa bahwa pelaku industri rokok selalu disudutkan dengan narasi dampak negatif rokok terhadap kesehatan, seperti serangan jantung dan kanker.
“Kami seharusnya dilibatkan dalam diskusi soal kebijakan ini. Rokok selalu dianggap penyebab utama berbagai penyakit, tetapi mengapa produk lain seperti gula, yang juga bisa menyebabkan kematian, tidak dikenakan cukai?” protes Suhardjo.
Ia berharap Kementerian Kesehatan bisa lebih bijaksana dalam membuat kebijakan terkait rokok, mengingat dampaknya tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga menyangkut mata pencaharian banyak orang dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil.
“Industri rokok bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika aturan ini diterapkan, itu sama saja dengan pembunuhan sistematis terhadap industri kami,” pungkasnya. (gus)