Gara-Gara Warisan: Harta yang Paling Berharga (3)

Gara-Gara Warisan: Harta yang Paling Berharga (3)

-Ilustrasi-

HARI itu, keputusan pengadilan akhirnya dibacakan. Hakim memutuskan bahwa surat wasiat buatan tangan yang tidak disahkan secara notaris tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, meskipun disaksikan anggota keluarga. Rumah warisan resmi menjadi hak bersama para ahli waris: Bintang, Doni, dan Lila.

Bintang menerima keputusan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Tak ada amarah, tak juga kemenangan. Ia pulang dengan langkah pelan ke rumah itu rumah yang kini bukan lagi sepenuhnya miliknya, bukan pula sepenuhnya tempat berlindung, melainkan simbol luka keluarga yang menganga.


Mini Kidi--

Malamnya, di ruang tamu, Bulan menyeduh teh hangat. Ia duduk di samping suaminya yang masih menatap langit-langit.

“Mas, kamu baik-baik saja?”

Bintang menarik napas panjang. “Entah ya… Aku merasa kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar rumah. Rasanya seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri.”

Bulan menatapnya penuh empati. “Tapi Mas, mungkin ini saatnya kita memilih untuk tidak menang sendiri… tapi menang bersama.”

“Menang bersama?” ulang Bintang lirih.

“Ya. Menang karena kita tidak membiarkan warisan ini jadi alasan tercerainya darah, tercerabutnya kasih sayang. Mas masih bisa bicara dengan Doni. Rumah bisa dibagi, dijual, atau disepakati bersama. Tapi hubungan keluarga kalau itu hilang, apa yang tersisa?”

Bintang terdiam. Kata-kata Bulan menancap seperti cermin. Ia ingat masa kecilnya bersama Doni bermain layangan, mandi di sungai, makan sepiring berdua karena lauk habis. Betapa jauh mereka kini karena harta peninggalan.

Keesokan harinya, Bintang memutuskan menghubungi Doni. Pertemuan berlangsung canggung. Tapi perlahan, setelah satu-dua jam duduk bersama, mereka membuka diri. Air mata pun tak terhindarkan.

“Maafkan aku, Don. Aku terlalu terburu-buru soal surat itu. Aku takut rumah ini jatuh ke tangan orang lain.”

“Aku juga salah, Mas. Aku marah karena merasa dilupakan… padahal kita ini keluarga.”

Akhirnya mereka sepakat: rumah warisan akan dijual, dan hasilnya dibagi rata. Namun sebelum itu, mereka sepakat akan berkumpul sebulan sekali di sana menjaganya sebagai tempat keluarga sebelum berpindah tangan.

Sumber: