Persebaya Butuh Arah Baru, Bukan Sekadar Pelatih Baru
Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--
Persebaya kembali memasuki babak yang terasa begitu familiar bagi para pendukungnya: pergantian pelatih di tengah musim. Ini bukan cerita baru.
Sejak kembali ke Liga 1 pada 2018, klub ini telah melewati sebelas pelatih mulai dari Alfredo Vera yang menakhodai tim di awal promosi.
Kemudian dilanjutkan Djajang Nurdjaman, Bejo Sugiantoro sebagai interim, Wolfgang Pikal, era panjang Aji Santoso, dua periode interim Uston Nawawi, Josep Gombau yang hanya seumur jagung, Paul Munster, hingga kini Eduardo Pérez Moran yang juga berakhir sebelum sempat membangun pondasi.
Sebelas nama, tujuh tahun, dan satu pola yang terus berulang.
--
Data grafik yang menggambarkan timeline pelatih 2018–2025 memperlihatkan betapa singkatnya setiap era.
Aji Santoso adalah satu-satunya enclave stabil yang pernah dimiliki Persebaya dalam beberapa tahun terakhir, sementara era lain hanya terdiri dari bulan-bulan yang tidak sempat menanamkan apa pun.
Jika klub lebih banyak berinvestasi waktu untuk “mengganti rencana” dibanding menjalankan rencana, maka ke mana sebenarnya Persebaya ingin melangkah?
Pergantian pelatih yang terlalu cepat sering kali tidak berdiri sendiri. Ia adalah gejala dari persoalan yang lebih dalam.
Klub yang terlalu sering mengganti pelatih sebenarnya sedang mengalami kegamangan identitas: ingin menang cepat, tetapi tidak memberi ruang bagi proses.
Ingin stabil, tetapi merombak arah setiap beberapa bulan. Ingin berkembang, tetapi membiarkan filosofi permainan berganti sebelum sempat mengakar.
BACA JUGA:SFF Ajang Kreativitas dan UMKM yang Butuh Keramaian

Mini Kidi--
Yang sering terlupakan adalah bahwa pelatih bukan satu-satunya faktor penentu. Kualitas pemain, kedalaman skuad, komposisi usia, mentalitas tim, dan kesiapan individu pun memegang peran besar.
Ada musim ketika pelatih datang dengan konsep modern, tetapi pemain yang dimiliki tidak cukup kompetitif untuk menjalankan sistem tersebut.
Ada momen ketika pemain muda butuh waktu berkembang, tetapi tekanan hasil membuat mereka tidak pernah diberi ruang untuk salah.
Dan ada pula situasi ketika skuad hanya ditambal, bukan dibangun. Dalam kondisi seperti ini, mengganti pelatih berkali-kali tidak akan mengubah apa pun selain nama di bangku cadangan.
Persebaya harus belajar dari apa yang pernah terjadi di panggung sepak bola dunia. Chelsea di era Roman Abramovich adalah contoh paling jelas bagaimana klub besar bisa terjebak dalam lingkaran instanisme.
Pelatih sekelas Mourinho, Ancelotti, Villas-Boas, Di Matteo, Benítez, Conte, dan Sarri datang dan pergi seperti pintu putar. Bahkan ketika trofi baru saja diangkat, keputusan pemecatan bisa keluar begitu cepat.
Sumber:



