Larangan Rekaman: Perlindungan Hak Siar atau Pembatasan Suporter?
Catatan Redaksi Anis Tiana Pottag.--
Sepak bola selalu lebih dari sekadar permainan. Ia adalah tontonan, hiburan, sekaligus pengalaman emosional yang menyatukan ribuan orang di tribun.
Namun, regulasi baru yang dikeluarkan Liga Indonesia musim ini menegaskan larangan bagi pihak tertentu untuk merekam jalannya pertandingan.
Dasar aturan ini jelas. Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 melindungi karya siaran, termasuk tayangan resmi pertandingan sepak bola.
Lisensi eksklusif yang diberikan Liga Indonesia kepada EMTEK memberikan hak penuh untuk menyiarkan, memperbanyak, dan mendistribusikan tayangan pertandingan.
Artinya, siapa pun yang merekam dan menyebarluaskan ulang tanpa izin dapat dianggap melanggar hak cipta atau hak siar.
BACA JUGA:Komunikasi Publik Jangan Terjebak Jadi Propaganda
BACA JUGA:Request untuk Menpora Anyar

Mini Kidi--
Regulasi baru I.League menegaskan larangan tersebut dengan sasaran utama: influencer, media, dan konten kreator.
Mereka dinilai berpotensi memanfaatkan rekaman pertandingan untuk kepentingan komersial, yang bisa menggerus nilai hak siar resmi.
Namun, posisi penonton umum yang sekadar merekam untuk kepentingan pribadi masih berada di ruang abu-abu. Regulasi yang ada tidak secara tegas menyebut mereka, meski praktiknya berpotensi menimbulkan multitafsir.
Di sinilah perdebatan muncul. Di satu sisi, perlindungan hak siar adalah keharusan demi keberlangsungan industri sepak bola modern.
Hak siar adalah sumber pemasukan utama bagi liga, klub, dan pemangku kepentingan. Namun di sisi lain, pengalaman suporter di stadion tidak bisa diabaikan.
Bagi banyak orang, mengabadikan momen gol atau atmosfer tribun adalah bagian dari kebanggaan, sebuah memori yang tidak selalu ditujukan untuk publikasi komersial.
Sumber:



