Nasib Penumpang
Semula publik internasional marah kepada Kamboja. Negara yang kini lagi mengejar kemajuan tetangganya, Vietnam, itu dianggap ceroboh. Dan membahayakan dunia. Gara-gara Kamboja-lah virus Corona bisa menyebar ke seluruh dunia. Begitu tuduhan mereka. Itu karena Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, mengizinkan kapal pesiar Westerdam berlabuh di negaranya. Lalu mengizinkan sebagian penumpangnya pulang ke negara masing-masing. Padahal salah satu penumpang Westerdam terjangkit virus Corona. Itu diketahui setelah si penumpang transit di Kuala Lumpur --dalam perjalanan bersama suaminya pulang ke Amerika. Kepanikan pun melanda banyak negara. ”Ini bisa lebih dahsyat dari Diamond Princess,” sangka mereka. Tapi sejak dua hari lalu kemarahan internasional itu pindah ke Malaysia. Ternyata wanita berumur 83 tahun itu tidak terkena virus Corona. Dia memang sakit tapi bukan Corona. Padahal tiga hari sebelumnya Malaysia begitu yakin. Malaysia mengumumkan wanita itu benar-benar terkena virus Corona. Sampai-sampai Kamboja --yang lagi dipelototi dunia-- tidak bisa menerima hasil pemeriksaan di Malaysia itu. Padahal Kamboja telanjur menjamin tidak ada penumpang Westerdam yang positif virus Corona. Kamboja pula yang membekali setiap penumpang Westerdam sertifikat bebas Corona. Maka itu Kamboja sewot ketika penumpang itu tiba di bandara Kuala Lumpur dinyatakan positif Corona. Kamboja pun secepat kilat mengirim surat resmi ke Malaysia. Kamboja minta ada dilakukan tes sekali lagi. Hubungan Kamboja-Malaysia sempat panas di balik selimut. Malaysia pun melakukan tes ulang. Hasilnya sama: wanita 83 tahun itu positif terkena virus Corona. Hanya suaminya, yang 85 tahun, tidak tertular. Mungkin sang suami sudah memiliki kekebalan di tubuhnya. Kamboja sendiri juga melakukan tes ulang kepada seluruh penumpang kapal. Yakni mereka yang masih menunggu nasib di dalam kapal yang sandar di pelabuhan Kamboja. Hasilnya: tetap. Tidak ada yang terkena virus Corona. Penumpang Westerdam yang sudah telanjur pulang ke negara masing-masing ikut susah. Terutama sebelum ada berita baru dari Malaysia. Misalnya suami istri asal Wisconsin ini. Semula sudah senang-ria. Mereka bisa naik pesawat dari Kamboja ke Wisconsin lewat Dallas. Pesawat jurusan Phnom Penh-Dallas itu harus transit di Tokyo. Setiba di Tokyo mereka dikejutkan pemberitahuan: tiketnya ke Amerika tidak bisa dipakai. Itu karena mereka penumpang Westerdam. Mereka pun tertahan di bandara Tokyo. Dengan pengawasan khusus. Setelah ada kabar baru dari Malaysia barulah mereka boleh meneruskan perjalanan ke Dallas. Ups... Tidak bisa. Tiket pesawatnya sudah hangus. Pesawat aslinya sudah lama meninggalkan Tokyo. Mereka harus cari pesawat lain. Itu berarti harus membeli tiket baru. Menurut USA Today, suami-istri itu harus keluar uang sendiri. Sekitar Rp 70 juta. Suami-istri ini ikut menyalahkan Malaysia. Demikian juga ratusan penumpang yang pilih carter pesawat besar jarak jauh. Dari Phnom Penh mereka ingin ke Amsterdam dulu sama-sama. Dari Amsterdam baru cari pesawat sendiri-sendiri ke tujuan masing-masing. Manajemen Westerdam-lah yang mengusahakan pesawat carteran itu: Turkish Airlines. Westerdam juga menyertakan empat orang petugas. Untuk ikut di dalam pesawat carteran itu. Mereka ditugaskan membantu orang-orang tua di rombongan itu. Yang baru 17 hari terkatung-katung di atas laut. Pesawat pun diberangkatkan dari Phnom Penh. Dari 268 penumpang, yang 250 orang warga Amerika dan Kanada. Ketika pesawat carteran itu sampai di atas udara Iran datanglah halilintar: Turki menolak didarati pesawat itu. Alasannya: karena berisi penumpang eks kapal pesiar Westerdam --yang terjangkit virus Corona. Rupanya berita baru dari Malaysia belum cukup tersiar luas. Atau, berita pertamanya telanjur begitu meyakinkannya. Begitu ditolak mendarat di Istanbul ke mana akan terbang? Pesawat itu tidak mungkin langsung ke Amsterdam. Bahan bakarnya tidak cukup. Pilot pesawat itu pun membelokkan arah. Balik kembali ke timur. Sambil sang pilot mencari akal: akan mendarat di mana dan dengan alasan apa. Sang pilot lantas mengontak bandara Karachi, Pakistan. Minta izin untuk bisa turun darurat di kota terbesar di Pakistan itu. Alasannya: ada masalah teknik. Pihak bandara pun mengizinkan. Begitulah peraturan internasional. Seperti Bandara Halim dulu. Yang juga mengizinkan pesawat Boeing 747 British Airways mendarat darurat. Tengah malam itu empat mesin pesawat jurusan London-Sydney itu mati semua. Yakni saat Gunung Galunggung meletus. Abunya terbang begitu tinggi masuk ke semua mesin pesawat itu. Tapi petugas menara bandara Karachi menegaskan satu hal: pesawat itu hanya bisa mengisi bahan bakar di Karachi. Tidak ada fasilitas layanan lain apa pun. Artinya: pesawat tidak akan bisa mendapat gate. Dan penumpang tidak bisa turun dari pesawat. Itu saja sudah sangat baik. Daripada penumpang harus terkatung-katung di udara --setelah 17 hari terkatung-katung di laut. Pukul 9 malam pesawat pun mendarat di Karachi. Persoalan menjadi rumit ketika diketahui para penumpang itu adalah eks Westerdam. Mulailah muncul tanda tanya. Ketika isi bahan bakar selesai pesawat tidak boleh langsung terbang. Dan lagi juga belum jelas akan terbang ke mana. Penumpang terus menunggu di dalam pesawat. Setelah tertahan lebih 7 jam akhirnya happy ending: Amsterdam bisa menerima mereka. Bahan bakar pun sudah cukup. Tidak perlu transit lagi di Istanbul. Dari Amsterdam mereka menyebar ke negara masing-masing. Tiba di rumah mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan: secara suka rela mengarantina diri. Hanya tinggal di rumah. Selama 14 hari. Mereka tahu diri. Masyarakat sekitar mencurigai mereka habis-habisan --sebagai pembawa virus Corona. Untuk keperluan makan pun anak atau keluarga yang memasok. Tiap hari sang anak menaruh rantang di depan rumah. Lalu pergi. Setelah si pengantar menjauh barulah tuan rumah mengambil ransum itu untuk dimakan. Semua kesulitan itu gara-gara satu rumah sakit. Namanya RS Sungai Buloh. Di Kuala Lumpur itu. Rumah sakit itulah yang mengatakan wanita 83 tahun itu terkena virus Corona. Pun setelah dites ulang. Padahal ternyata tidak. Dua hari lalu Wakil Perdana Menteri Malaysia Wan Azizah sendiri yang akhirnya mengumunkan: hasil tes di RS Sungai Buloh itu salah. Wanita 83 tahun itu memang sakit tapi bukan terjangkit virus Corona. Sampai kemarin keadaan pasien sudah kian baik. Tapi masih belum keluar dari Sungai Buloh. Yang ikut gembira adalah lebih 1.500 orang yang masih berada di Westerdam. Yakni 747 awak kapal dan 781 penumpang. Sebagian awak kapal itu dari Indonesia. Sebagian sudah pulang. Bukan karena virus. Tapi kontrak kerja mereka memang sudah habis. Yang paling gembira tentunya Hun Sen. Yang sempat dihujat dunia internasional. Terutama akibat perlawanannya terhadap masker. ”Masker itu lebih menyebarkan ketakutan daripada virusnya sendiri,” katanya (Disway: Gila Masker). ”Akhirnya keadilan tiba,” ujar siaran pers pemerintah Kamboja --saking senangnya atas pengakuan terbaru dari Malaysia itu. Tapi masih tetap belum tahu: ke mana kau hendak pergi, Westerdam. (dahlan iskan)
Sumber: