Kupas Aset Korupsi, AKBP Victor Mackbon Raih Gelar Doktor Hukum Unair

Kupas Aset Korupsi, AKBP Victor Mackbon Raih Gelar Doktor Hukum Unair

Surabaya, memorandum.co.id - Kapolres Jayapura, AKBP Victor Dean Mackbon kini berhak menyandang gelar Doktor. Melalui sidang terbuka di Aula Pancasila Gedung A Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Senin (24/2/2020). Tim penguji yang diketahuai Prof Didik Endro Purwoleksono memberikan nilai 3,7 dengan predikat sangat memuaskan. Victor dalam disertasinya mengangkat soal korupsi dengan judul “Mutual Legal Assintance dalam Rangka Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”. Selama dua jam, mantan Kapolsek Sawahan dan Wonokromo ini dengan lancar menjawab semua pertanyaan penguji yang terdiri dari tiga profesor dan empat doktor ilmu hukum. Begitu ketua penguji mengumumkan hasil rapat akan ujian yang dilakukan pada AKBP Victor, “Saudara AKBP Victor Dean Mackbon SH SIK MH MSi, berhak menyandang gelar Doktor ilmu hukum Universitas Airlangga Surabaya dengan predikat sangat memuaskan dan mendapat nilai 3,7”, tepuk tangan undangan khusus pun menggema di ruangan, termasuk dua pengacara ternama Surabaya, Dr Syaiful Maarif, SH MH CN dan Dr Abdul Salam SH MH, serta bos Finna Surabaya, Cahyo. Menurut Victor, pengambilan materi ujian dan melakukan penelitian dengan promotor Prof Nur Bqasuki Minarno merupakan bagian sumbangsih tentang masalah peliknya penegakan hukum di Indonesia, terlebih masalah tindak pidana korupsi. Di mana aparat penegak hukum sering terbentur tembok regulasi yang berimbas tidak maksimalnya upaya pengembalian uang negara atau kerugian negara yang dikorupsi. Misalnya, pelaku tindak pidana korupsi sering memanfaatkan lemahnya aturan hukum. Cela ini misalnya, uang hasil korupsi dengan mudah bisa dilarikan ke luar negeri, baik berupa aset maupun masuk ke dalam rekening, bisa pribadi maupun perusahaan. “Fakta ini sering terjadi, sehingga negara banyak dirugikan. Untuk menyita atau menarik kembali atas aset hasil korupsi yang terlanjur terbang ke luar negeri ini sering gagal. Ini tak lain karena tidak ada hubungan khusus, bilateral atau multilateral terhadap negara tujuan pelarian hasil korupsi. Terhadap masalah ini, kami menemukan solusi, harus segera dicarikan cara untuk bisa menarik kembali uang hasil kejahatan tersebut,” jelas Victor. Selain itu, lemahnya hukum di Indonesia, terhadap denda atau hukuman tambahan (subsideir) sering dipilih para terpidana korupsi untuk hukuman badan ketimbang membayar denda kerugian negara, dengan alasan tidak cukupnya uang. Padahal, tidak semua koruptor yang sudah divonis itu miskin. “Ini hanya akal-akalan atau bagian strategi mereka untuk tetap kaya raya, setelah bebas menjalani hukuman badan,” beber putra daerah Papua yang pernah menjabat Kapolres Timika ini. (iku)

Sumber: