Carikan Lahan 50 Hektare untuk PT BSB

Carikan Lahan 50 Hektare untuk PT BSB

GRESIK - Proses hukum yang kini menjerat H Mahmud, mantan Kepala Desa Banyuwangi, Kecamatan Manyar, Gresik, sangat berliku. Bahkan sampai berujung caleg dari Partai NasDem ini ditetapkan sebagai tersangka penipuan dan penggelapan oleh penyidik Polda Jatim. Melalui Memorandum, Mahmud mencoba menjelaskan duduk permasalahan yang dianggap telah menzaliminya. Permasalahan ini berawal pada Juni 2014, saat Mahmud mendapat penawaran dari PT Bangun Sarana Baja (BSB) untuk mencarikan lahan seluas 50 hektare di daerah Kecamatan Ujung Pangkah. Penawaran tersebut diterima oleh Mahmud, dan terjadi kesepakatan dengan BSB, tanah per meter persegi dihargai Rp 180 ribu. Selanjutnya kedua belah pihak mendatangi kantor Notaris Kamiliah Bahasuan di Gresik, untuk membuat surat perjanjian pembebasan lahan hingga terbit surat notaris nomor 901/L/2014. Dalam surat perjanjian tersebut pihak BSB diwakili Andi Siswanto selaku Direktur BSB, sedangkan Mahmud sebagai penjual mewakili petani. Untuk mendapatkan lahan tersebut, pihak BSB memberikan waktu 24 bulan, dan menyerahkan uang muka Rp 4 miliar lebih dari total pembelian sekitar Rp 90 miliar. Bahkan pihak BSB bersedia akan mengucurkan dana sekitar Rp 3,7 miliar setiap bulannya, atau minimal Rp 1 miliar, untuk membebaskan tanah. “Untuk pengurusan perizinan seperti izin prinsip pemanfaatan ruang untuk industri, izin lokasi pengairan, izin amdal, izin IMB sudah menjadi tanggungan saya. Bahkan saya juga bertanggung jawab bila nantinya tanah yang dibeli itu ternyata bermasalah dengan hukum,” papar Mahmud. Dalam surat perjanjian tersebut juga tertuang bila kedua belah pihak tidak bisa melakukan penghentian sepihak. Bahkan dari pihak BSB tidak diperkenankan menjual lahan tersebut ke pihak ketiga sebelum selesai perjanjian tersebut. Dengan modal surat perjanjian itu Mahmud mulai mencari lahan, dengan langkah pertama mengumpulkan para petani yang ingin menjual tanahnya. Sedangkan untuk mempermudah dalam pembebasan lahan tersebut, Mamud mengutamakan pemilik tanah yang berada di tepi jalan raya. “Tujuan saya membeli yang depan dulu, sedangkan harganya per meter perseginya lebih mahal dari perjanjian. Karena sebagai pintu masuk untuk lahan di belakangnya sehingga saya utamakan. Kalau bagian belakang jelas akan mengikuti,” lanjut caleg Dapil 8 Kabupaten Gresik ini. Untuk yang di bagian tengah dan belakang masih menurut Mahmud, beberapa pemilik tanah sudah diberikan uang muka sebagai pengikat dengan batas waktu pelunasan. Ketika memasuki bulan ke tujuh, Mahmud dan timnya sudah mendapatkan lahan 2 hektare di bagian depan. “Tidak ada dalam perjanjian target setiap bulannya saya harus mendapat tanah yang dibebaskan. Sedangkan pihak BSB harus mengucurkan dana setiap bulan untuk pembebasannya,” jelas Mahmud. Ternyata pada bulan ke tujuh, pihak BSB memutuskan sepihak untuk menghentikan kerjasama tersebut. Bahkan BSB mengembalikan tanah yang sudah dibelinya, dan meminta uang Rp 15 miliar yang telah diberikan ke Mahmud. Tentu saja permintaan perusahaan itu tidak semudah membalikkan tangan, dan Mahmud bersikeras untuk melanjutkan kerjasama tersebut. “Saya sudah memberikan uang muka ke beberapa petani, kalau tidak jadi akan hangus. Selanjutnya pihak BSB akhirnya menghentikan kucuran dana untuk pembebasan tanah. Tentu saja saya bersikeras untuk melanjutkan karena sudah terlanjur basah,” tegas Mahmud. Masalah pun timbul. Bukan lagi uang yang diterima Mahmud dari BSB untuk pembebasan tanah, melainkan surat somasi yang diterima Mahmud pada tahun 2015. Tapi surat tersebut diabaikan, karena pemberhentian kerjasama tersebut hanya sepihak. Hingga akhirnya somasi dikirim hingga kali ketiga, dengan nomor 063/SK-HRD/BSB/V/2015 yang ditandatangani Manajer HRD PT BSB Agus Sulistyo. (tyo/nov) (bersambung)  

Sumber: