Makan Menko
Oleh: Dahlan Iskan Pak Jaya Suprana menghubungi saya. Paguyuban Punokawan akan audiensi dengan Menko Polhukam Prof Dr Mahfud MD. Tapi saya lagi di Okinawa. Pak Jaya Suprana, semarnya Punokawan itu, wanti-wanti. Agar saya mencatat tanggal pertemuan dengan Pak Mahfud MD itu. Saya catat tanggal itu. Tapi saya telanjur jauh. Demikian juga ketika kelompok Suluh Kebangsaan dijadwalkan bertemu Pak Mahfud. Putri-putrinya Presiden Gus Dur minta saya ikut hadir. Tapi saya lagi di Taipei. Baru Kamis lalu saya tiba dari Vietnam. Saya pun mampir ke Kemenko Polhukam. Tentu setelah memberi info lewat sekretaris pribadi beliau. Pak Mahfud Kamis itu ada di kantornya. Di Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta. "Sekalian saja ikut makan siang bersama," ujar beliau. Padahal saya tidak ingin mengganggu waktu beliau. Lima menit pun cukup. Saya hanya ingin salaman. Saya belum sempat memberi ucapan selamat atas pengangkatan beliau sebagai Menko Polhukam. Ternyata setiap jam 12.30 Pak Mahfud memang punya acara khusus: mengajak seluruh unsur pimpinan tinggi Kemenko Polhukam makan siang bersama. Lokasinya di ruang makan di sebelah ruang kerja beliau. Beliau pun minta ke ajudan agar persiapan makan siangnya sedikit dimajukan. Sambil menunggu para pejabat eselon satu tiba, kami ngobrol berdua. Soal lama dan soal baru. Masalah Timur dan Barat. Urusan langit dan bumi. Lalu pintu pun diketok. Pertanda sudah tiba waktunya santap siang. Ada satu jenderal bintang tiga di situ: Letjen Tri Soewandono, sekretaris Kemenko. Arek Suroboyo. Lulusan SMAN 4 Surabaya. Ada enam jenderal bintang dua --para deputi Menko. Beberapa lainnya 'jenderal sipil' yang bintangnya tak terhitung. Menu makan siangnya sederhana: nasinya bisa pilih --nasi putih atau merah. Ada sayur brokoli. Ada sambal goreng kentang. Ada ikan. Ada tempe goreng. Sopnya khas Surabaya: rawon. Saya ambil nasi putih --sudah dua minggu tidak ketemu nasi. Juga mengambil banyak brokoli --sudah dua tahun ini saya hampir tidak absen makan brokoli. Kadang brokoli itu saya makan mentah --saya olesi butter peanut crunchy. Saya lihat Pak Mahfud ambil nasi putih sedikit sekali. Lalu dituangkan rawon di atas nasi itu. "Jaga makan ya pak," celetuk saya. "Tidak juga. Sistem di tubuh saya sudah tidak lagi bisa menerima banyak makanan," jawab beliau. "Tapi tiga jam lagi saya harus makan kue. Sedikit," tambahnya. Saya pun melirik bagian perut beliau sesapuan. Memang terlihat lebih ramping. Alhamdulillah. Beliau pun bertanya tentang olahraga saya. Apakah masih tetap sama, senam dansa, dan apakah tetap konsisten. Pak Tri menceritakan pengalamannya dalam operasi militer di pedalaman --dalam kaitannya dengan makanan. Pisang, menurut beliau salah satu makanan yang penting. Saya jadi ingat pepatah di Eropa: one apple a day makes doctor away. Itu menceritakan pentingnya makan apel satu buah sehari --agar tidak perlu ke dokter. Ternyata pepatah itu lahir karena di Eropa tidak ada pisang. Kalau saja di sana ada pisang bunyi pepatah itu akan berubah total. Kata apel pasti diganti pisang --karena kandungan pisang lebih baik dari apel. "Pemain sepak bola kok makan nasi. Pasti tidak kuat," ujar seorang dokter olahraga pada saya. Dulu. "Padahal di Indonesia begitu banyak pisang," tambahnya. Energi dari nasi memang tinggi. Tapi dipakai sebentar langsung habis. Itu beda dengan pisang atau singkong dan ketela. Kami pun bertukar info tentang khasiat makanan. Juga tentang bahaya makanan. Khas pembicaraan orang yang ingin sehat --baca: orang tua. Apakah makan siang seperti itu tetap ada kalau Pak Menko lagi di luar kota? “Tetap ada. Harus ada," ujar Pak Mahfud. "Dengan makan bersama seperti ini banyak hal yang terlupa menjadi ingat. Lalu bisa dibicarakan," tambah beliau. Hari itu pun saya pura-pura tidak mendengar --ketika ada beberapa masalah rumah tangga dibicarakan. Saya pilih berdiri untuk pura-pura mengambil makanan lagi. Tapi saya tidak bisa pura-pura bangga ketika Pak Mahfud memuji kepintaran istri saya memasak --di depan begitu banyak bintang. "Kapan-kapan saya ajak makan di rumah beliau," ujar Pak Mahfud pada yang hadir. "Siap!" hanya itu yang bisa saya ucapkan. Saya pun pamit. Saya harus ke Samarinda --kampung istri saya. Besoknya adalah malam tahun baru Imlek. Saya harus di Samarinda --ingin Imlekan dengan teman Tionghoa yang menunggu di sana. (*)
Sumber: