Lufita Lu

Lufita Lu

Oleh: Dahlan Iskan Ayahnya meninggal dunia. Keluarga besarnya minta agar Fita pulang. Gadis itu lagi kuliah di luar negeri. Ibunya beda pendapat. Lufita Noviatful Asna tidak usah pulang. Kuliahnya hampir selesai. Tinggal dua bulan lagi wisuda. Fita bingung. Tapi ibunya terus meyakinkannya. “Saya takut kalau kamu pulang tidak balik lagi,” ujar sang ibu. Sang ibu berpandangan jauh. Fita adalah soko guru keluarga. Dialah yang selama ini membiayai adiknya. Sekolah di pondok modern Gontor, Ponorogo. Satu-satunya adik. Laki-laki. Yang sejak SD sudah bercita-cita ke Gontor. Bahkan Fita pula yang membiayai rumah tangga. Sejak ayahnya meninggal dunia. Ayahnya, Zainal Arifin, seorang sopir. Yang tidak akan mendapat bayaran kalau tidak kerja. Pun karena sakit. Zainal adalah sopir truk. Mengangkut beras dari penggilingan padi. Milik temannya. Di Kediri. Sedang ibunya menjadi ibu rumah tangga. Di Kediri itu. Sang ayah meninggal dunia tahun lalu. Bukan karena sakit. Mungkin serangan jantung. Tidak ada yang tahu. Ibunya lagi di Gontor. Menjenguk anaknya. Saat berangkat ke Gontor sang suami masih mengantar ke terminal. Pakai sepeda motor. Itu Rabu pagi. Kamis malam, jam sembilan, tetangganya curiga. Rumahnya masih gelap. Sehari itu Zainal tidak kelihatan. Lalu ada yang memberanikan masuk rumahnya. Ditemukanlah Zainal sudah meninggal. Di atas tempat tidur. Usianya 48 tahun. Keluarga Fita sebenarnya sempat hidup lumayan. Zainal sempat usaha penggilingan padi. Di Desa Tarokan. Sekitar 15 km di utara Kediri. Di jalur jalan ke arah Nganjuk. Usahanya pun sempat berkembang. Sampai dipercaya oleh bank. Untuk membeli truk. Dua buah. Saat Fita masih di SMA usaha ayahnya itu mengalami kesulitan. Lalu bangkrut. Truknya disita bank. Semuanya hilang. Hidup menjadi sulit. Fita tahu apa yang harus dilakukannya. Sebagai anak sulung: tidak akan masuk perguruan tinggi. Tidak akan ada biaya. Teman-temannya menyalahkannya. Kok tidak mau mendaftar ke universitas. Padahal semua tahu: Fita anak pandai. Bahkan bahasa Inggrisnya terbaik di sekolahnya. Fita memilih sekolah yang ada bea siswanya. Mendaftarlah ke ITCC. Yayasan yang saya pimpin itu. Dua tahun Fita belajar bahasa Mandarin di Surabaya. Cepat sekali bisa. Sampai berijasah D2. Sebelum ke Chongqing pun Fita sudah berani jadi penerjemah. Di proyek jalan tol Kertosono. Agar bisa mendapat penghasilan. Lalu Fita berangkat ke Chongqing. Mendapat bea siswa dari ITCC. Menjadi mahasiswi berjilbab di Tiongkok. Fita diberi nama Tionghoa: Lu Yi He (陆羿合). Prestasi di kampusnya menonjol. Sebelum wisuda pun sudah mendapat pekerjaan. Tinggal pilih. Fita memilih di perusahaan smelter aluminium. Di Kalbar. Dua jam naik mobil dari Ketapang. Tiap dua bulan Fita mendapat libur panjang. Dua minggu. Disertai tiket pesawat Ketapang-Pontianak-Surabaya pulang pergi. Setiap libur Fita pulang ke Kediri. Menengok ibunya. Yang hidup sendiri. Menemani ibunya. Di sebuah kamar kos-kosan di kota. Gajinya sudah lebih Rp 10 juta sebulan. Tapi Lufita masih mencari gaji yang lebih tinggi. Banyak tawaran datang. Apalagi Fita juga lancar berbahasa Inggris. Sebuah pabrik tekstil dari Dubai juga memerlukan Fita. Untuk penerjemah Inggris-Mandarin. Pabrik tekstil Dubai itu berada di Kota Shao Xing. Sebuah kabupaten di Provinsi Zhejiang. Di pertengahan antara segitiga Hangzhou-Ningbo-Shanghai. Shao Xing adalah penghasil dasi, BH, dan celana dalam terbesar di dunia. Fita akan meninggalkan gajinya yang Rp 10 juta di Kalbar. Bulan depan. Pergi ke Shao Xing. Ke perusahaan tekstil Dubai itu. Ibunya merestuinya. Pengusaha Dubai itu pun senang. Bisa mendapatkan Fita. Karena Fita muslim. Tahu budaya orang-orang Dubai. Yang juga Islam. “Sekarang masih urus visa kerja,” ujar Fita. Saya akan terus memonitor karir Fita. Entah akan sampai di mana. Ibunya pasti bangga.(*)

Sumber: