Pengamat: DPRD Tidak Bisa Panggil Paksa Bupati Jember
Jember, Memorandum.co.id - Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Dr Oce Madril SH MA Gov, turut bersuara mendengar ada perseteruan berlarut legislatif dengan eksekutif di Kabupaten Jember. Menurut dia, pemanggilan paksa hanya untuk kasus-kasus pidana. Sedangkan masalah politik seperti yang terjadi diJember akibat dipicu hak angket oleh DPRD setempat, pemanggilan paksa tidak berlaku. Oce menyitir putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. "Alasan MK membatalkan norma seperti ini adalah karena pemanggilan paksa merupakan upaya perampasan hak pribadi seseorang yang hanya dikenal dalam proses penegakan hukum pidana (pro justicia) yang diatur secara jelas dalam KUHAP mengenai prosedur penggunaannya dan tidak diperbolehkan untuk tindakan selain penegakan hukum," terangnya, Rabu (15/1). Putusan itu juga membatalkan norma Pasal 171 ayat (3) UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 75 ayat (3) Peraturan Pemerintah 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Dalam aturan itu, pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat yang telah dipanggil berturut-turut namun tidak memenuhi, DPRD dapat memanggil secara paksa dengan bantuan kepolisian. “Dengan adanya putusan MK dimaksud pada dasarnya kehilangan legitimasi kekuatan hukum," ujar Oce. Hal ini dikarenakan putusan MK bukanlah hanya membatalkan isi suatu UU tertentu yang diuji ke MK melainkan juga berdampak kepada konstitusionalitas norma-norma sejenis yang identik. Putusan MK bersifat erga omnes. Artinya, tidak hanya berlaku bagi pihak yang menguji ke MK melainkan juga mengikat semuanya. Termasuk norma lain yang identik, sejenis, dan ada dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Pemanggilan paksa melibatkan kepolisian, sebut Oce, juga tidak dapat dijalankan karena merupakan norma yang kabur (vague norm) dan norma yang mengandung kekosongan hukum (vacuum of norm). Apalagi pemanggilan paksa panitia hak angket DPRD Jember kepada bupati, sudah dijawab dan diminta untuk dijadwal ulang untuk mempelajari keabsahan. Selain itu, di saat bersamaan bupati ada agenda dengan Kantor Staf Kepresidenan (KSP) membahas rencana pembangunan jalan tol. "Permohonan penjadwalan ulang merupakan alasan yang sah mengingat ketidakhadirannya bukan karena tidak punya itikad baik melainkan karena teknis penjadwalan semata. Untuk itu jika ketidahadiran pejabat pemerintah karena adanya alasan yang sah salah satunya permintaan penjadwalan ulang maka ketentuan panggilan paksa di Pasal 171 Ayat (3) UU Pemda dan Pasal 75 ayat (3) PP 12/2018 tidak dapat diberlakukan," pungkas Oce. (edy/epe)
Sumber: