Bupati Minta Dijadwal Ulang, Dewan Bersikukuh Libatkan Polisi
Ketentuan MK, Pemanggilan Paksa Hanya Dikenal Dalam Proses Hukum Pidana Jember, Memorandum.co.id - Polemik antara eksekutif dengan legislatif di Kabupaten Jember terus meruncing. Terakhir, muncul rencana Panitia Hak Angket DPRD Kabupaten Jember meminta bantuan pihak kepolisian untuk memanggil paksa Bupati Faida agar hadir dalam rapat dengar pendapat (RDP). Rencana ini terlontar setelah undangan RDP ke bupati dan sejumlah OPD (organisasi perangkat daerah) Senin (6/1), tidak ada satu pun yang hadir. Dalih legislatif, undangan sudah terkirim 3 Januari. Situasi serupa juga terjadi pada undangan kedua, Senin (13/1). Kondisi ini yang memantik kekecewaan Wakil Ketua Hak Angket, David Handoko Seto. “Hingga pemanggilan kali kedua kembali tidak hadir, terpaksa (kami, red) meminta bantuan polisi,” kata legislator dari Fraksi Nasdem tersebut. Namun, ketidakhadiran bupati perempuan pertama di Kabupaten Jember itu bukan tanpa alasan jelas. Dalam konfirmasinya yang diterima Memorandum melalui pesan Whatsapp, bupati mengaku tengah dinas luar mengikuti rapat koordinasi kementerian di Jakarta. “Ketidakhadiran bukan tanpa alasan. Jadwalnya selalu bertepatan dengan agenda yang sangat urgent. Sebelumnya, kami meminta untuk dijadwal ulang tapi pihak DPRD tidak mau untuk itu,” kata bupati kemarin. Menurut bupati, permohonan penjadwalan ulang merupakan alasan yang sah mengingat ketidakhadirannya bukan karena tidak punya itikad baik melainkan karena teknis penjadwalan semata. Untuk itu jika ketidakadiran pejabat pemerintah karena adanya alasan yang sah, salah satunya permintaan penjadwalan ulang maka ketentuan panggilan paksa di Pasal 171 Ayat (3) UU Pemda dan Pasal 75 ayat (3) PP 12/2018 tidak dapat diberlakukan. Dalam dua aturan tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD itu memang mengatur kewenangan legislatif memanggil paksa. Dalam hal pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau warga masyarakat telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan, DPRD dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan bernomor 16/PUU-XVI/2018 yang bersifat final, justru telah membatalkan norma yang isinya memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan pemanggilan paksa dengan bantuan kepolisian yang ada dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Alasan MK membatalkan norma seperti ini adalah karena pemanggilan paksa merupakan upaya perampasan hak pribadi seseorang yang hanya dikenal dalam proses penegakan hukum pidana (pro justicia) yang diatur secara jelas dalam KUHAP mengenai prosedur penggunaannya dan tidak diperbolehkan untuk tindakan selain penegakan hukum seperti hak angket karena hal demikian akan bertentangan dengan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi yaitu UUD 1945. Keberadaan norma dalam UU Pemda dan PP 12/2018 yang juga mengatur kewenangan pemanggilan paksa oleh DPRD dengan bantuan Kepolisian RI dengan adanya putusan MK dimaksud pada dasarnya menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Hal ini dikarenakan putusan MK bukanlah hanya membatalkan isi suatu UU tertentu yang diuji ke MK melainkan juga berdampak kepada konstitusionalitas norma-norma sejenis identik yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. (edy/epe)
Sumber: