Prof Dr Basuki Resko Wibowo: Gugatan Yang Sama Tak Bisa Diajukan

Prof Dr Basuki Resko Wibowo: Gugatan Yang Sama Tak Bisa Diajukan

Surabaya, memorandum.co.id - Prof Dr Basuki Resko Wibowo mantan guru besar FH Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun dikemudian hari apabila diajukan oleh pihak yang sama, dengan obyek yang sama, dengan alasan yang sama, serta uraian peristiwa hukum yang sama, maka gugatan yang telah diajukan itu sifatnya nebis in idem, terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya. Pernyataan itu disampaikan Dekan di Universitas Nasional Jakarta saat menjadi saksi ahli dalam sidang perbuatan melawan hukum yang diajukan Sie Prabowo Wahyudi dan Fenny Indrawati Sukimin terhadap Enni Widjaja dan Ratna Wijaya, Senin (23)7/2023). Dalam sidang yang digelar di ruang Kartika 2 PN Surabaya, pihak tergugat Enni Widjaja dan Ratna Wijaya melalui kuasa hukumnya Satria Ardyrespati Wicaksana dari kantor hukum Johanes Dipa Widjaja menanyakan beberapa hal diantaranya asas nebis in idem. Menurut ahli, nebis in idem itu adalah asas yang bersifat universal, dalam praktik peradilan dimanapun termasuk di Indonesia, tanpa terkecuali dalam perkara perdata. "Dalam perdata itu penormaannya ada di pasal 1917 KUH Perdata, ditindak lanjuti beberapa Surat Edaran dari Mahkamah Agung (MA) serta dipraktekkan secara konsisten dalam banyak putusan MA," ungkap ahli. Menurut Prof Dr Basuki, untuk memastikan apakah gugatan yang dimohonkan itu nebis in idem, dengan putusan pengadilan terdahulu, tinggal di-compare atau dibandingkan saja, apple to apple, membandingkan gugatan yang baru itu dengan gugatan sebelumnya yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap. "Lalu sebagai parameternya, apakah pihaknya sama, apakah objeknya sama, apakah alasan hukumnya sama. Apabila hal itu terpenuhi, lanjut ahli, maka hal itu bisa dikatakan nebis in idem. Hal ini ditegaskan berulang kali didalam Putusan MA yang telah menjadi yurisprudensi," jelas ahli. Namun begitu kata ahli, meski sudah memenuhi syarat nebis in idem, seseorang masih bisa mengajukan gugatan. Karena pengajuan suatu gugatan adalah hak setiap orang dan pengadilan tidak boleh menolak, walaupun alasan hukumnya tidak jelas. Hal itu telah diatur dalam Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kehakiman. Pengadilan akan tetap meregister perkara itu, menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan memutus gugatan itu, memanggil pihak-pihak yang berperkara. "Dalam proses pemeriksaan perkara itulah akan diketahui, baik melalui proses jawab menjawab, atau melalui proses pembuktian, apakah perkara yang diajukan tersebut sebelumnya sudah pernah diputus pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau tidak," kata ahli. Untuk memastikannya, sambung ahli, pada proses persidangan dengan gugatan yang baru. Dan tentunya, dalam persidangan yang baru inilah menjadi kewenangan majelis hakim yang memeriksa perkara, untuk menilai, apakah gugatan baru yang dan kemudian disidangkan tersebut masuk dalam klasifikasi sebagai nebis in idem ataukah tidak, dengan meng-compare atau membandingkan dengan putusan hakim sebelumnya. " Dan apabila gugatan baru yang diajukan tersebut memenuhi prinsip nebis in idem, maka terhadap gugatan yang baru itu tidak dapat diterima atau haruslah ditolak," tegas Ahli. Ahli juga diminta menjelaskan apakah pengajuan dan pemeriksaan terhadap gugatan yang baru dapat menunda pelaksanaan eksekusi terhadap gugatan sebelumnya yang telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap ? Menurut ahli, putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan amar yang bersifat condemnatoir dapat dimohonkan eksekusinya melalui Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang yang memutus perkara tersebut di tingkat pertama. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR maupun ketentuan hukum lainnya yang terkait. Eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan jaminan untuk mewujudkan asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Serta selaras dengan asas peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. " Gugatan baru yang diajukan terhadap subyek yang sama serta terhadap obyek eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak menunda atau membatalkan eksekusi. Eksekusi harus tetap dijalankan sesuai dengan ketentuan ketentuan eksekusi," ujar ahli. Penundaan eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kata ahli hanya karena adanya gugatan baru yang ne bis in idem, bertentangan dengan peraturan perundang undangan, melanggar asas kepastian hukum, keadilan,kemanfaatan serta tidak sesuai dengan asas peradilan diselenggarakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain gugatan baru, penggugat juga mengajukan PK ke MA terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap pihak pihak yang sama, obyek sengketa yang sama,  dengan alasan yang sama? Ahli mengatakan, adanya inkonsistensi sikap hukum Penggugat. Oleh karena disatu pihak yang bersangkutan mengajukan PK, namun pada waktu yang sama yang bersangkutan mengajukan gugatan baru ke PN. Perlu diketahui, hakim Mahkamah Agung sebelumnya sudah menolak gugatan yang diajukan para penggugat melalui putusan yang dijatuhkan pada 2 Juni 2022 lalu. Dalam gugatannya, penggugat mendalilkan bahwa jual beli yang dilakukan antara Poediastuti/Penjual Pemberi Kuasa dengan almarhum Widjaja/Pembeli orangtua dari tergugat  Enni Widjaja dan Ratna Wijaya terhadap objek tanah Lingkungan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, Kotamadya Surabaya seluas 7090 meter persegi tidak sah. Faktanya, tergugat memiliki Akta Perjanjian (Tentang Pengikatan Jual Beli) Nomor 9 dan Akta Kuasa Nomor 10, tertanggal 9 November 1990 yang dibuat di hadapan Notaris Raden Soejono, SH. Terhadap gugatan tersebut, pihak Enni Widjaja dan Ratna Wijaya sudah mengajukan eksekusi dan sekarang dalam tahap aanmaning. (gus)

Sumber: