Wamenag: Di Indonesia, Agama dan Budaya Lokal Tak Bisa Dipisahkan

Wamenag: Di Indonesia, Agama dan Budaya Lokal Tak Bisa Dipisahkan

Jakarta, memorandum.co.id - Makna seni dan budaya bukanlah sekadar dekorasi yang menghiasi jalinan masyarakat Indonesia. Keduanya adalah inti dari identitas Indonesia sebagai bangsa yang menghubungkan masyarakatnya dengan para leluhur dan menjadi inspirasi untuk merangkul kemanusiaan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki saat mewakili Menteri Agama membuka Temu Konsultasi Seniman dan Budayawan Nusantara 2023 di Jakarta. ​​​​​​ "Gelaran Temu Konsultasi Seniman Budayawan Nusantara ini menjadi momentum bagi kita untuk membangun kesalehan beragama kita agar tidak terjerabut dari identitas kebangsaan Indonesia yang multikultural," kata Wamenag, di Jakarta, Kamis (20/7/2023) malam. "Saya berharap, para seniman dan budayawan dapat membawakan pesan-pesan agama melalui produk-produk budaya yang bisa menggerakkan masyarakat agar tetap guyub, rukun, saling tolong menolong, dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa,", sambung Wamen. Dalam konteks agama dan budaya, Wamenag berkisah tentang Clifford Geertz, seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat yang menganggap kyai/ulama’ pesantren sebagai makelar budaya atau cultural broker. Clifford Geertz, menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai melakukan fungsi screening bagi budaya luar. Nilai-nilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka agar tidak menanggalkan budaya lama. "Jika diilustrasikan, kyai bagaikan dam atau waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar. Agama dan budaya adalah dua entitas yang saling mengisi dan saling mempengaruhi. Islam memiliki nilai universal, sedangkan budaya juga mencerminkan nilai-nilai moral, etika, dan identitas suatu masyarakat, " tandas Wamenag. "Karena itu, corak kekhasan Islam di Indonesia menunjukkan pola keislaman yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya lokal. Ini selaras dengan apa yang disebut Gus Dur sebagai Pribumisasi Islam," kata Wamenag. Ia menambahkan kesalehan dalam beragama adalah sebuah kondisi orang beriman yang merujuk pada tingkat kualitas ketulusan, kesetiaan, dan kepatutan terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Kesalehan ini dapat diperoleh dari ritual ubudiyah yang dijalankan sehari-hari. Namun, kesalehan beragama saja tidaklah cukup. Penting untuk diingat, lanjut Wamenag, bahwa Saleh dalam Beragama dan Saleh dalam Berbudaya berkaitan erat dengan nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat tertentu. "Maka, seperti kata Gus Dur dalam buku 'Islamku, Islam Anda, Islam Kita', selama budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga," tutup Wamenag. (*/rdh)

Sumber: