Nasib Miris Perjalanan Cinta sang Pengusaha (2)

Nasib Miris Perjalanan Cinta sang Pengusaha (2)

Ketika Nasik menghubungi Laila, yang menerima telepon ayahandanya, mertua Nasik. Lelaki sepuh itu hanya menyampaikan pesan dari anaknya: Laila tidak mau pulang. Kata pria sepuh itu, Laila tidak akan kembali pulang sebelum suami menjalankan salat dan mengaji. Sampai kapan pun, Laila menyatakan akan terus bersabar menunggu waktu itu. Masuk hari ke-10, Nasik akhirnya menyerah. Dia sowan ke mertuanya di bumi perjuangan Waliullah Sunan Drajat. Nasik mengaku tidak tahan terlalu lama ditinggal sang istri. “Toh yang dia katakan benar,” tuturnya, “Memang, hidayah Allah itu bisa datang dari mana saja. Seperti aku ini, setelah bertahun-tahun meninggalkan ajaran agama, hidayah justru datang dari istri sendiri.” Raut muka Nasik sejenak tampak cerah. Namun, beberapa saat kemudian dia disadarkan kenyataan yang sedang dihadapi kini. Yaitu, perempuan yang sangat dia cintai itu telah meninggalkannya. Bukan untuk sejenak, tapi selama-lamanya; bukan sekadar ancaman, tapi menjadi pelajaran abadi bagi yang ditinggalkan! Nasik mengaku tidak mudah move on dari cintanya kepada Laila. Beberapa gadis cantik yang disodorkan keluarga dan kerabat tidak ada yang ujung panahnya mampu menembus jantung hati Nasik. Semua cantik-caktik. Semua masih perawan. Semua berpendidikan tinggi. Semua dari keluarga berada. Tapi, nyatanya tidak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya. Mereka lewat begitu saja tanpa ada yang meninggalkan kesan. Sampai suatu waktu, sekitar setahun pasca meninggalnya Laila, neneknya yang tinggal di Jombang mengenalkan seorang gadis jebolan pesantren di sana. “Dialah Nindra,” kata Nasik. Lelaki berambut tebal ini mengaku sebenarnya juga tidak tertarik kepada Nindra. Banyak alasan yang dia utarakan kepada keluarga. Pertama, hatinya sama sekali tidak bergetar saat kali pertama berjumpa. Kedua, dia melihat ada bias sorot mata yang bertolak belakang dengan sorot mata Laila. Ada tabir di sana. Ketiga, kata-kata Nindra menyiratkan ada sesuatu yang dia sembunyikan. “Itu memang sebatas perasaan. Makanya keluarga menyerang aku. Aku dikatakan tak bisa move on dari Laila, tidak bisa melupakan Laila, atau hatiku turut terkubur bersama jasad Laila. Intinya, mereka mengharapkan aku menerima Nindra sebagai pengganti Laila.” Alasan mereka menjodohkan keduanya sebenarnya juga banyak. Satu, wajah Laila dan Nindra sangat mirip. Ini, kata mereka, menunjukkan bahwa hati mereka juga demikian. Dua, Laila dan Nindra sama-sama jebolan pondok pesantren. Laila lulusan pondok di Ngawi, sedangkan Nindra lulusan pondok di Jombang. Tiga, keduanya sama-sama anak priyayi dan tokoh masyarakat. (jos, bersambung)  

Sumber: