Utak Atik Gatuk, Menata Kawasan PKL Alun-Alun Pasuruan dengan Opsi Terbaik

Utak Atik Gatuk, Menata Kawasan PKL Alun-Alun Pasuruan dengan Opsi Terbaik

Oleh: Muhammad Hidayat - Wartawan Memorandum Biro Pasuruan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Alun-Alun Kota Pasuruan mulai tumbuh subur. Sektor informal ini seolah mengikuti adagium, “Ada Gula Ada Semut”. Ketika ada manisnya di suatu tempat, disitu banyak orang berharap. Ini wajar. Karena pedagang kecil seperti PKL, tentu ingin dagangannya laris manis. Para PKL paham jika Alun-Alun Kota Pasuruan menjadi daya tarik yang tak terbantahkan. Hal ini karena hampir setiap hari ada ratusan bahkan ribuan peziarah memadati makam Almaghfurlah, KH Abdul Hamid. Mereka datang dari berbagai daerah. Silih berganti. Apalagi kini dengan dibangunnya enam Payung Madinah. Membuat Alun-Alun makin cantik. Sebuah ikon baru Kota Pasuruan yang kian dikenal seantero nusantara. Berdirinya Payung Madinah yang digagas Walikota Saifullah Yusuf (Gus Ipul) seolah menjadi magnet baru buat para wisatawan. Utamanya saat malam Jumat Legi, kawasan Alun-Alun begitu ramai peziarah. Hal inilah yang menjadikan PKL kian lama kian menjamur. Bagi Pemerintah Kota Pasuruan, satu sisi hadirnya PKL tak bisa dielakkan. Mereka sudah lama eksis. Bahkan untuk menata PKL Kota Pasuruan sudah pernah terbit Peraturan Daerah Kota Pasuruan nomor 09 tahun 2002 tentang penataan dan penertiban pedagang kaki lima (PKL). Yaitu sejak era kepemimpinan Walikota Aminurokhman. Perda disahkan pada tanggal 12 Januari 2002. Selanjutnya diperbaiki ketika era Pemkot Pasuruan dibawah kendali H Hasani. Yakni dengan diterbitkannya Perda nomor 02 tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima tertanggal 10 April 2013. Memang, rata-rata Alun-Alun di daerah lain pun menjadi sentra keramaian PKL. Bagi Pemkot Pasuruan, hadirnya PKL minimal bisa mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan warganya. Mereka bisa memutar roda perekonomiannya agar dapur tetap ngebul. Namun, di sisi lain, hadirnya PKL juga menimbulkan banyak persoalan. Wajah Alun-Alun seolah tertutup cantiknya. Payung Madinah yang mengembang juga tidak terlihat indah. Masih kalah oleh tenda-tenda PKL yang tak tertata. Semrawut. Bahkan, sampah kadang masih dijumpai berserakan dimana-mana. Sehingga, kata kunci untuk PKL adalah: Penataan. Bukan relokasi. Ini mungkin agak berbeda dengan penataan PKL di Malioboro Yogyakarta. Saat studi tiru yang dilakukan insan media bersama Diskominfotik Kota Pasuruan ke Yogyakarta pada 18-20 Mei 2023 lalu, ada beberapa poin yang bisa diambil dari studi tersebut. Pertama, ternyata proses penataan PKL yang dilalui dengan sosialisasi, koordinasi dan pendekatan interpersonal antara pemerintah daerah dengan PKL butuh waktu lama. Ditempuh dengan sabar sekitar 8-9 tahun. Harian Kompas sempat merilis dalam info grafisnya. Sebuah kolom: Lini Masa Penataan Kawasan Malioboro. Dimulai sekitar tahun 2014. Dengan mengawali revitalisasi dan penataan fasilitas PKL di kawasan Alun-Alun utara Malioboro. Sampai akhirnya dilakukan relokasi PKL Malioboro di Teras Malioboro I dan II. Relokasi itu baru bisa dimulai pada 1 Februari 2022 (Baca: Kompas Online: Menjaga Peran PKL sebagai Penjaga Marwah Malioboro, 9 Februari 2022). Poin kedua. Upaya merelokasi PKL di Malioboro Yogyakarta banyak dipengaruhi oleh kultur dan budaya disana. Kultur dan budaya Jawa masih melekat kuat dibenak para pedagang. Sehingga, pada saat ada pertentangan atau demo para PKL, kultur Jawa masih diugemi (dipegang dengan teguh). Ketiga, komunikasi interpersonal yang dilakukan “Ngarso Ndalem” – sebutan Sri Sultan Hamengku Buwono terbukti ampuh. Hubungan masyarakat atau PKL dalam menghormati Ngarso Ndalem begitu mendalam. “Pengaruh beliau itu sangat kuat. Kami manut apa yang sudah diputuskan beliau,” tutur Slamet Santoso, Ketua Paguyuban PKL saat ditemui di Teras 1 Malioboro. Lalu, bagaimana dengan PKL yang bukan asli warga Yogyakarta. Mungkin ada yang berasal dari suku Madura, Padang atau daerah lain? Kepala Diskominfo dan Sandi (Diskominfosan), Ign. Tri Hastono saat beraudiensi menyatakan resepnya. “Untuk masalah khusus, maka pendekatannya juga dilakukan khusus. Misal kami pernah dibantu tokoh Madura di Yogya. Namanya Pak Fadli. Kebetulan beliau saat itu jadi Asisten (sekarang sudah pensiun). Beliaulah yang banyak berkomunikasi dan melakukan pendekatan khusus dengan PKL asal Madura. Kalau bahasa dan jiwanya sama, mungkin lebih mudah diterima,” terang Tri Hastono. Keempat, lakukan pendataan dan identifikasi PKL secara valid. PKL harus terdaftar di instansi terkait dengan Tanda Usaha Dagang (TUD). Ada yang jualan kuliner. Ada yang fashion. Ada pula yang cenderamata atau oleh-oleh khas Yogya. Pihak dinas terkait harus merangkul paguyuban PKL. Gunanya untuk memudahkan sosialisasi, pelatihan atau menguatkan ikatan sesama PKL. Bahkan, paguyuban PKL Malioboro sudah mandiri dengan membentuk koperasi sendiri. Bahkan, setiap Selasa Wage, seluruh pedagang kompak kerja bakti bersama. Kelima, setelah PKL sudah dipastikan jumlah dan karakteristik dagangannya, maka harus diawasi secara kontinyu. Tidak boleh lengah. Jangan sampai ada PKL nakal. Atau PKL baru yang tidak terdata bisa masuk lokasi. Di Malioboro Yogyakarta, Pemkot setempat berani menggaji puluhan Jogoboro. Penjaga Malioboro. Mereka berseragam. Petugasnya diambilkan dari tenaga sipil/honorer Pemkot. Tugasnya bergantian atau pakai sistem shift. Menjaga kawasan Malioboro tetap aman, lancar dan ramah. Baik untuk wisatawan maupun para pedagang (PKL). Keenam, mengawal PKL Malioboro membutuhkan kerjasama lintas sektor. Siapa berbuat apa. Seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus paham dan mampu menterjemahkan kebijakan Walikotanya. Bappelitbangda bertugas merencakan, merancang atau mendesain penataan PKL. Termasuk mengkaji Feasibility Study (FS)-nya. Disperindag mengawal pembinaan, pelatihan dan bantuan ke PKL. Dinas PU mengawal infrastrukturnya. Dinas Kebersihan dan Pertamanan mengawal kebersihan bersama paguyuban. Satpol PP mengawal keamanan. Bahkan dibantu pihak kepolisian. Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil, Menengah mengawal usaha mikro. Misalnya untuk pelatihan digital marketing atau soft skill. Dinas Kominfo berperan branding dan publikasi. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menghadirkan event-event menarik. DPRD dan tokoh masyarakat juga ikut dilibatkan. Dan begitu seterusnya. Jadi semua OPD, dewan kompak. Siap meninggalkan ego sektoral. Nah pertanyaannya, siapkah Pemkot Pasuruan menata PKL Alun-Alun? Perlu utak atik gatuk dari beberapa opsi diatas. Perlu dicari format terbaik. Opsi A gagal, ganti B. Gagal lagi, ganti C. Dan seterusnya. Ndak boleh menyerah sampai gatuk. Sampai tuntas dan pas. Pemkot Pasuruan Perlu Ciptakan Keramaian Baru Penataan PKL di Alun-Alun Kota Pasuruan memang tidak mudah. Tapi, tidak boleh menyerah. Orang bilang, tidak semudah membalik telapak tangan. Studi tiru dengan penataan PKL Malioboro Yogyakarta juga tidak bisa apple to apple. Ada yang bisa diambil sesuai kebutuhan Kota Pasuruan. Ada pula yang susah untuk diterapkan. Soal kultur, budaya dan pitutur ngarso ndalem, tentu tidak bisa disamakan dengan Pasuruan. Tapi soal jumlah PKL dan klasifikasinya, seharusnya Pemkot Pasuruan lebih mudah menatanya. Karena jumlah PKL Alun-Alun relatif kecil. Tidak sampai 150 PKL. Dibanding PKL Malioboro yang jumlahnya ribuan. Selain itu, klasifikasi PKL Alun-Alun juga tidak banyak. Rata-rata kuliner, seperti jualan nasi goreng, mie, bakso dan mainan anak-anak. Tetapi kenyataannya, penataan PKL di Alun-Alun Kota Pasuruan belum menemui titik terang. Hal itu beberapa kali dirasakan oleh dinas terkait. Beberapa perundingan belum menemukan solusi. Istilah anak sekarang, bandelnya PKL Alun-Alun sudah tingkat dewa. Bahkan, pada 27 Maret 2023 lalu, ketika Walikota Saifullah Yusuf bersama jajaran Forkopimda berusaha menertibkan PKL dan Parkir malah terjadi hujan protes. Padahal, pihak Pemkot Pasuruan sudah punya skema waktu itu. Meski sifatnya masih trial and error. Misalnya, upaya mensterilkan tepi trotoar bagian dalam Alun-Alun dari parkir dan PKL. Rumusannya dengan membatasi waktu. Mulai pukul 06.00 – 15.00 WIB, pemkot membolehkan kendaraan parkir di pinggir jalan Alun-Alun. Namun, ketika pukul 15.00 – 23.00 WIB, parkiran harus steril dan diisi para PKL. Parkir mobil atau motor disiapkan kantong-kantong parkir tersendiri. Agak jauh dari Alun-Alun. Rupanya utak atik ini belum gatuk. Masih belum bisa diterima para PKL dan tukang parkir. Mereka protes. Kerumitan penataan ini juga diakui Gus Ipul kala itu. “Ya, memang tidak mudah. Tapi tetap harus kita lakukan demi kebaikan bersama. Perlu perbaikan regulasi lagi,” terang Gus Ipul. Konsep untuk menata PKL di Kota Pasuruan sebenarnya sudah pernah dibicarakan lintas sektor. Mulai Disperindag, Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan (DLHK), Satpol PP, Dinas PU dan Satker lainnya. “Kalau existing (format) tetap seperti dulu. Untuk pendekatan dengan para paguyuban PKL juga sudah kita lakukan. Nanti kita akan lakukan penyeragaman PKL. Biar kelihatan rapi dan terlihat lebih indah,” cetus Yanuar, Kepala Disperindag Kota Pasuruan dengan nada optimis. Untuk data PKL, Yanuar sudah mendapatkan gambaran riil, jika datanya sebanyak 144 PKL. Jumlah ini tidak boleh bertambah. Karena pelan-pelan PKL akan ditata dengan baik. Selain dilakukan penyeragaman grobak seperti pujasera, PKL juga akan mendapat pembinaan dari dinas terkait. Bahkan, untuk mempercantik Alun-Alun, pihak dinas terkait juga akan membangun Sky Walk untuk melengkapi fasilitas PKL. Wisata kuliner yang bisa dinikmati para wisatawan dalam dan luar daerah. Keseriusan Pemkot Pasuruan terlihat dengan menganggarkan fasilitas Sky Walk sebesar Rp 4 Miliar. Persoalan penataan PKL Kota Pasuruan juga mendapat perhatian dari pakar Tata Kota ITS Surabaya, Putu Rudy Setiawan. Kepada SKH Memorandum, Rudy mengaku cukup faham dengan kondisi Kota Pasuruan. Sebab, dosen jurusan Perencanaan Wilayah Kota (PWK) ITS ini juga pernah menjadi konsultan atau staf ahli Tata Kota Pasuruan 2018. “Saya cukup familiar dengan Kota Pasuruan,” tuturnya mengawali wawancara by phone. Soal penataan kawasan religi dengan hadirnya Payung Madinah sebagai magnet baru, Rudy mencoba menganalisis lebih dalam. Pertama, perlu dipertanyakan kepada Pemkot Pasuruan, apakah menjadikan kawasan Makam KH Abdul Hamid sebagai wisata religi obyek primer. Atau memakai konsep kedua dengan secondary function. Yakni selain sebagai wisata religi, hadirnya Payung Madinah juga dijadikan sebagai obyek wisata secara visual di Alun-Alun Kota Pasuruan. “Kalau yang dipilih adalah potensi kedua, maka harus disiapkan dari awal supaya tidak mengganggu lingkungan,” tegasnya. Itu berarti kawasan Alun-Alun Kota Pasuruan harus dijadikan cooling area. Harus bersih dari kendaraan, baik R2, R4 dan seterusnya. Berikan hak publik di ruang publik untuk menikmati wisata dengan berjalan kaki. Sehingga harus ditata lebih indah, baik PKL maupun parkirnya. Untuk selanjutnya, pria yang kini menjadi staf ahli Pemkot Mojokerto ini menyarankan Pemkot Pasuruan perlu membuka atau menciptakan keramaian baru. Artinya tidak hanya bertumpu di Alun-Alun semata. “Harus ada pengembangan wisata atau keramaian baru. Saya lihat Kota Pasuruan yang ramai hanya pusat kotanya saja. Belum terpikirkan untuk daerah lain, seperti Kecamatan Bugul Kidul atau Panggungrejo yang ada pelabuhannya belum disentuh,” tukasnya. Daerah-daerah yang diistilahkan Rudy sebagai less develop (minim pengembangan) perlu disentuh Pemkot Pasuruan. Perlu menciptakan magnet baru lagi. Misalnya di wilayah Pelabuhan perlu dijadikan wisata bahari. Hadirkan kuliner dari bahan dasar ikan laut. Atau wisata susur sungai. Sehingga bisa memecah keramaian baru. Sebagian PKL bisa berjualan disana. Tidak menumpuk di Alun-Alun semata. “Kalau sudah ada magnet baru lagi, tentu akan memudahkan Pemkot untuk mengatur PKL. Ini juga yang nantinya akan dikembangkan di Kota Mojokerto dengan wisata baharinya. Di daerah yang belum banyak tersentuh seperti di Prajurit Kulon Mojokerto. Kalau di Bugul Kidul mungkin perlu dicarikan pusat peradaban baru juga. Sehingga warga Kota Pasuruan bisa merasakan kehadiran Pemerintah untuk mereka,” tuturnya. Atau mungkin dengan alternatif lain. Buat event di malam hari. Gus Ipul biasanya paling tajam melihat peluang ini. Saat studi tiru ke Yogyakarta waktu itu, saya berusaha mampir sejenak di “Pendopo Lawas”. Menikmati alunan musik. Merasakan atmosfer suasana di malam yang asyik. Hanya bermodal gitar akustik dan bernyanyi, hampir setiap malam wahana ini dipenuhi orang. Wahana yang telah mengorbitkan Tri Suaka dan Nabila Maharani bisa dikenal luas pecinta musik tanah air. Nah, akankah Gedung Harmonie atau Taman Kota bisa disulap menjadi pusat keramaian baru? Sekaligus memberi wahana untuk para kawula muda berekspresi. Kita tunggu saja!

Sumber: