Meretas dan Memberantas Politik Uang dalam Pemilu
Bojonegoro, memorandum.co.id - Sejak 1999 sampai 2023 ini, pemilu telah menjadi regularitas aktivitas sosial-politik masyarakat elit dan publik. Pemilu sepanjang setengah dekade ini secara konstitusional telah memberi ruang siapa saja untuk mengakses kursi parlemen ataupun eksekutif, dan juga memberi ruang demokrasi bagi masyarkat sipil di semua lapisan. Namun, sepanjang priode kepemiluan tetap saja terdapat masalah kecurangan dugaan politik uang dalam meraih kursi parlemen ataupun eksekutif. Lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2019 telah melakukan surve dengan hasil 40 persen responden telah menerima uang dari peserta pemilu namun tidak mempertimbangkan untuk memilih mereka dalam pemilu. Dari kasus tahun 2019 tersebut hal memungkinkan terjadi politik uang dalam pemilu 2024 mendatang. Bahkan dalam rilisnya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang disampaikan Ratna Dewi Pettalolo saat menjadi narasumber dalam webinar politik uang : potensi pencegahan dan penindakan. Ratna menyampaikan, politik uang menjadi salah satu acaman pemilu serentak 2024. Tidak hanya hal tersebut yang menjadi tatantanggan dalam pemilu, akan tetapi saat ini masyarakat telah mengangap lumrah politik uang. Hal yang lumrah itu sebagimana hasil surve dari Lembaga Surve Indonesia (LSI) tahun 2019, yang menyatakan terdapat 48 persen masyarakat berangapan jika politik uang ini biasa. Walaupun aturan-aturan hukum dalam pemilu sudah dipaparkan oleh undang-undang dan di terjemahkan oleh lembaga penyelengara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu, tidak menutup kemungkinan jikalau politik uang akan terjadi lagi. Sebab pada tahun-tahun yang lalu sudah dicontohkan sedemikian rupa, tapi tetap saja terjadi politik uang dalam pemilu. Oleh karena itu, lembaga pelaksana pemilihan Umum (Pemilu) perlu mewujudkan Pemilu yang demokratis, beradab, dan berintegritas tanpa noda politik uang, tidak cukup hanya bersandar pada kemampuan fungsi hukum beserta kelengkapan norma imperatifnya (ancaman sanksi pidana penjara dan denda, serta sanksi administratif), akan tetapi juga membutuhkan sandaran etika/ moral. Meskipun kaidah hukum dilengkapi dengan sarana pemaksa (imperatif) yang dibentuk lewat otoritas negara, namun kaidah hukum tidak mampu bekerja sendiri untuk mengendalikan prilaku dalam konteks kehidupan sosial, termasuk dalam konteks kehidupan politik. Untuk mewujudkan Pemilu yang bersih dari noda politik uang , idealnya harus dimulai dari kesadaran moral pribadi setap kontestan. Jika kontestan menilai bahwa praktik politik uang adalah sesuatu yang terlarang dan tercela, dan ada paksaan dari dalam dirinya untuk tidak melanggar larangan itu, maka harapan untuk mewujudkan Pemilu yang bersih dari noda politik uang, masih terbuka lebar. Sebab, ketaatan semua kontestan terhadap aturan larangan politik uang sudah masuk pada kategori “internalizaton”. Jadi, kaidah imperatfnya bersumber dari kesadaran moral pribadi masing-masing kontestan politik pemilu. Dari sini kita dapat merumuskan dari lembaga penyelengara pemilu yang dengan ini adalah Bawaslu, untuk senan tiasa melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu. Dan juga regulasi yang tepat untuk pengawasan kepada setiap calon kontestan politik. Semisal membuat sistem keputusan bersama dalam menata politk yang bersih dari politik uang. Selain itu, melibatkan masyarakat dalam mencari dugaan politik uang di setiap elemen sangat lah penting, yaitu dengan melakukan rekrutmen partisipasion di dalam elemen masyarakat yang berbasis bawah.(top/ziz)
Sumber: