Mengaku Pegawai Bank, Ternyata Suami Penipu (4-habis)
Satu jam lebih kami mengawasi daerah itu sambil makan di warung Gubeng pojok, tidak ada hasil. Kami pun bergeser, berencana ke Tunjungan Plaza (TP) dengan sedikit memutar lewat Kayoon. Di tengah perjalanan, tepatnya dekat tikungan Jalan Kayoon, Maya berteriak. Dia melihat peminta-minta kemarin duduk bersimpuh di samping penjual rokok. Kami pun menepi mencari tempat parkir. Kami akhirnya berhasil mendekat ke peminta-minta yang kami curigai. Dia kaget melihat kedatangan kami. Terutama ketika melihat Maya. Dia berusaha kabur dengan tergesa-gesa. Kami selalu mengikuti ke mana perginya. Terus. Terus. Dan terus, sampai dia kelelahan dan akhirnya berhenti. “Ada apa Mbak terus-menerus mengejar saya? Kemarin juga kan?” tanya orang itu. Maya kaget, ternyata suara peminta-minta itu berbeda dari suara Dundung. Akhirnya kami berterus terang bahwa kami sedang mencari suami Maya, orang yang dikatakan peminta-minta itu selalu mengejar-ngejar. Kembali tanpa hasil, kami putuskan malam itu mencukupkan pencarian. Minggu pagi kami mencoba peruntungan dengan mendatangi Taman Bungkul saat car free day (CFD). Tanpa kami duga, kami betemu dengan peminta-minta yang tadi malam dekat warung rawon kalkulator. “Wah… ketemu lagi,” sapa Memorandum. Ternyata orang itu diam saja. Sama sekali tidak menoleh. Dia terus ngeloyor ke utara. Memorandum menoleh ke belakang, ternyata istri Memorandum dan Maya tertinggal jauh. Entah ada apa. Peminta-minta tadi terlihat berhenti tidak jauh dari pintu masuk Makam Mbah Bungkul. Duduk di sana, diam. Sekali-kali bibirnya komat-kamit tidak jelas. Pada saat bersamaan, istri Memorandum dan Maya menyusul. Mata Maya langsung tertuju ke peminta-minta tadi. Tajam. Sementara, yang dipandang pura-pura tidak mengetahui ada yang memperhatikan. Dia bahkan lebih menunduk. Tak lama kemudian Maya jongkok di depan peminta-minta tadi dan membisikkan sesuatu. Hanya sekitar dua-tiga menit, Maya berdiri dan kembali menuju mobil. Peminta-minta tadi mengikuti. Memorandum dan istri bengong. Kami pun mengikuti mereka. Ketika kami sudah ada di dalam, Nila berkata yang ditujukan kepada kami, “Kenalkan Om, Tante, ini suamiku: pegawai bank!” Kentara sekali Maya menahan amarah yang amat sangat. Terdengar gemelatuk gigi di sela ungkapan tadi. Wajahnya mangar-mangar memerah. “Apa maumu dengan semua sandiwara ini?” tanya Maya. Dundung terdiam. Sambil melucuti pakaian dinasnya yang seperti tidak dicuci tujuh hari dia meminta maaf. Berulang-ulang. Suaranya sangat lirih. Nyaris tak terdengar! (jos, habis)
Sumber: