Ulang Tahun, Dihadiahi Perempuan Berperut Buncit

Ulang Tahun, Dihadiahi Perempuan Berperut Buncit

Yuli Setyo Budi, Surabaya Desi (43, samaran) tidak menyangka hari ulang tahunnya yang ke-30 akan menjadi hari yang tidak terlupakan. Sepanjang hidup. Dunia-akhirat. Ya. Dia mendapat surprise istimewa dari sang suami, sebut saja Muslikh (48): teman berbagi ceria. Istilah tersebut disampaikan Muslikh ketika memperkenalkan seorang perempuan kepadanya. “Namanya Yuni. Dia akan berbagi ceria denganmu,” kata Muslikh sepulang dari tugas dinas selama dua tahun di luar pulau. Kalimat tersebut diulang oleh bibir tipis Desi di ruang kerja seorang pengacara yang berkantor di sekitaran Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Desi murka. Marah tiada tara. Segala cara diungkapkan untuk mengekspresikan penolakan. Intinya: nehik. Tidak. Bukan iya. Atau setengah iya. Sepanjang hari dihabiskan Desi untuk meluapkan kemarahannya. Penolakan terhadap Yuni! Bangun-bangun keesokan harinya, Desi mendapati Muslikh dan Yuni duduk bersimpuh di lantai, di samping bawah ranjang tidurnya. Mereka menangis lirih. Mencoba menggelamkan suara dalam sunyi. “Kalau Mbak Desi tidak bisa menerima aku, baiklah. Aku mencoba mengerti. Tapi tolong, Mbak. Akui anak yang ada di dalam kandungan ini sebagai anak Mas Muslikh. Rawatlah dia nanti dengan penuh kasih sayang,” kata Yuni hampir tak terdengar. Berbicara demikian sambil tangannya mengelus-elus perut yang sedikit buncit. Mendengar kata anak dalam kandungan, mata Desi terbelalak. Dadanya berdesir. Duh… betapa dia sangat merindukan itu. Sampai-sampai hal tersebut menjebaknya dalam mimpi bersambung. Hampir setiap malam. Hampir setiap lelap. Hampir setiap berbaring. Desi yang bersiap menyemprotkan kata-kata kasar sebagai ekspresi kemarahan mendadak kelu. Lidahnya seperti tertelan kembali melesap ke dalam rongga mulut. Hampir dengan pengharapan yang sama, Muslikh mengucapkan permohonan kepada Desi, “Ayolah, Ma. Terimalah Yuni sebagai adik. Kasihanilah anak yang terkandung di perutnya.” Tidak hanya mengeluarkan permintaan belas kasih melalui lisan, lelaki bertubuh tegap ini bahkan menyorongkan bibir untuk mencium kaki Desi. Dengan penuh kelembutan Muslikh melakukannya tanpa merasa risih dan jijik. Tak disangka, Yuni menyusul menciumi kaki Desi. Spontan saja Desi menarik kaki-kakinya. Justru dia yang kini merasa risih. Perlahan Desi turun dari tempat tidur dan berdiri tegak. Kaku. Seperti mumi mengikuti upacara bendera. “Silakan keluar,” kata Desi perlahan. Tangan kanannya terangkat lemah, menunjuk ke pintu kamar. Pelan-pelan pula Muslikh dan Yuni beringsut pergi. Me nutup pintu kamar dan menghilang secara bersamaan. “Anak yang amat kami impi-impikan akhirnya dia (Muslikh, red) dapatkan. Dari dia. Perempuan lain. Bukan aku,” kata Desi kepada seorang perempuan yang mengantarnya menemui pengacara. Dia adalah adik bungsu Desi, yang mendorong sang kakak mengajukan gugatan cerai. “Sabar, Mbak. Allah pasti menggantinya yang lebih baik,” kata perempuan itu. “Tidak! Dia bukan teman berbagi ceria. Dia pencuri keceriaan!” Tiba-tiba Desi berdiri dan membanting HP yang semula berada dalam genggaman. (bersambung)  

Sumber: