KH M Bisri Syansuri Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Surabaya, memorandum.co.id - Sosok KH M Bisri Syansuri, salah satu tokoh resolusi jihad, diajukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur menjadi pahlawan nasional. Menurut Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Kiai Bisri memiliki jasa besar dalam perjuangan bangsa terutama saat resolusi jihad serta dalam memajukan pendidikan pada kaum perempuan. "Saya secara khusus menyampaikan proses pengajuan KH M Bisri Syansuri menjadi pahlawan nasional agar dimaksimalkan pemenuhan persyaratannya,” ungkap Khofifah, Selasa (24/1). Khofifah mengaku mendukung penuh pengajuan sosok Kiai Bisri sebagai sosok pahlawan nasional. Hal tersebut dirasa penting mengingat perjuangan Kiai Bisri saat menjadi komandan dan membantu mengkomunikasikan gerakan Hizbullah dan Sabilillah bersama para santri saat resolusi jihad. "Beliau merupakan sentral komando pergerakan pasukan. Selain itu, beliau juga memiliki peran yang luar biasa dalam proses perjuangan bagi bangsa dan negara saat pra dan pascakemerdekaan,” kata gubernur. Kiai Bisri Syansuri merupakan seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir pada 18 September 1886 di Tayu, Pati, Jawa Tengah. Semasa kecil, Bisri muda belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan hafal Alquran dan juga ahli dalam bidang fiqih. Di sana, Bisri belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, dan hadits. Gurunya dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan agama. Usia 15 tahun, mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya. Bisri belajar pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu. Yakni, KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem. Bisri muda juga berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah, Bisri kemudian bertemu dengan KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya. Lalu, Kiai Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di pesantren itu, beliau belajar selama 6 tahun. Beliau memperoleh ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama mulai dari kitab fiqih Al-Zubad hingga kitab hadits seperti Bukhari dan Muslim. Pada tahun 1912 sampai 1913, beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah bersama KH Abdul Wahab Chasbullah. Di kota suci itu, mereka belajar kepada Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Al-Maliki. Juga kepada guru-guru Kiai Haji Hasyim Asy’ari, yaitu Kiai Haji Ahmad Khatib Padang dan Syekh Mahfudz Tremas. Saat di Makkah, Kiai Bisri meminang adik dari KH Wahab Chasbullah yakni, Nur Khodijah. Pascamenikah, keduanya tinggal dan menetap di Tambak Beras, Jombang. Mereka dikaruniai sembilan orang anak yang salah satunya ialah Sholihah. Sholihah menikah dengan Kyai Wahid Hasyim yang juga merupakan ayah dari Mantan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bersama sang istri, KH M Bisri Syansuri mulai merintis pendirian pesantren di atas tanah milik pribadi yang terletak di Desa Denanyar pada tahun 1917. Sebelum adanya Pesantren Mambaul Maarif, Desa Denanyar merupakan daerah hitam. Saat itu, warga di sana menjalani hidup tanpa mengindahkan kaidah moral dan ajaran Islam. Perjudian, perampokan, tindak kekerasan, perzinaan, dan perilaku maksiat lainnya menjadi pemandangan sehari-hari. Kondisi inilah yang justru menyemangati pasangan Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah dalam berdakwah. Seiring bertambahnya waktu, pendekatan dakwah Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Hj Nur Khodijah semakin diminati masyarakat, khususnya kaum wanita. Mereka mulai terbuka pandangannya. Masyarakat mulai memahami bahwa dalam ajaran Islam kedudukan wanita dimuliakan. Sejak saat itu, Pesantren Mambaul Maarif bukan hanya tempat kaum pria mendalami agama Islam, tetapi juga bagi kaum wanita. Dari situlah cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Putri Mambaul Maarif. Dari perjalanan panjang tersebut, Gubernur Khofifah mengatakan, pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Kiai Bisri ini sama sekali bukan kepentingan keluarga atau dzurriyat. Melainkan, menurutnya hal tersebut menjadi bagian penting dari catatan perjalanan sebuah bangsa. “Saya tadi komunikasikan dengan Staf Khusus Menkopolhukam, karena Pak Menkopolhukam adalah ketua dewan gelar. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana proses pengajuan tersebut dilakukan. Sebab jika ada kekurangan dokumen, kami akan lengkapi,” tuturnya “Karena ini bukan untuk kepentingan keluarga KH M Bisri Syansuri, melainkan untuk menjadi rekaman komprehensif bahwa mereka yang pernah berkontribusi pada proses pengorbanan, perjuangan, dan perjalanan bangsa punya jejak sejarah yang bisa dijadikan teladan,” imbuhnya. Kemudian, menurutnya jika tidak diajukan sebagai pahlawan nasional, maka dokumen perjalanan perjuangan beliau sekadar sebagai dokumen keluarga dan PP Mambaul Maarif. Tetapi jika sebagai pahlawan nasional, maka akan tercatat dalam jejak sejarah bangsa yang menjadi dokumen nasional sehingga dapat diteladani oleh seluruh warga bangsa. “Bahkan seringkali tamu-tamu kepala negara lain jika melakukan kunjungan ke suatu negara mereka ke makam pahlawan sebagai bentuk penghornatan. Di sinilah harapannya catatan rekam jejak sejarah KH M Bisri Syansuri bisa terdokumentasikan,” jelasnya. “Dan ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” sambung Khofifah. (bin)
Sumber: