Kades Minta Tambahan Masa Jabatan, Pakar Politik: Tidak Ada Dasar Logika
Surabaya, memorandum.co.id - Gerakan kepala desa menuntut perubahan UU no 6 tahun 2014, tentang Desa memantik banyak reaksi. Para kepala desa menuntut tambahan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun, dianggap merugikan regenerasi kepemimpinan di tingkat desa. Bahkan, terkesan desakan penambahan masa jabatan kepala desa merupakan gaya kepemimpian feodal, dan bisa merugikan kepentingan rakyat di desa. Pakar politik dan kebijakan publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dr Moch Mubarok Muharam menjelaskan, aksi ribuan massa para kepala desa ini, karena mereka menyakini jalur parlemen sebagai jalan pintas. Sehingga para kepala desa, terkesan tak mengindahkan upaya dari jalur revisi undang-undang melalui Mahkamah Konstitusi (MK). “Saat ini, parlemen dianggap bisa menentukan, dan merealisasikan tujuan kepala desa. Jika parlemen setuju, maka keinginan mereka (kepala desa) lebih cepat terwujud,” tegas Mubarok. Ia mengatakan tidak seharusnya kepala desa mendesak tambahan masa jabatan. Apalagi, gerakan-gerakan kepala desa terkesan difasilitasi oleh kepala daerah (sebagai jabatan politik ditingkat kabupaten). Selain itu, sejumlah partai politik juga mempunyai peran, mendorong kepala desa mendesak revisi undang-undang, Mubarok memprediksi gerakan kades sebagai pejabat politik di tingkat desa ini, akan diikuti gerakan massa lainnya. “Jika itu terjadi, maka gerakan didukung parlemen. Karena partai politik membutuhkan suara para kepala desa dalam Pemilu 2024,” prediksi Mubarok. Mantan ketua PMII Surabaya ini, menyebutkan gerakan kepala desa sebenarnya bisa menggunakan jalur Mahkamah Kontsitusi, meski terkesan gerakan ini akan lama prosesnya. Apalagi gerakan para kades mendesak revisi UU no 6 tahun 2014, mereka meyakini didukung parlemen dan parpol. “Parpol akan meraih simpatik dengan mendukung kepala desa. Sehingga parpol melaluikaki tangannya memfasilitasi,” urai dia. Sementara melalui jalur Mahkamah Konstitusi, Mubarok menyakini tidak meski lembaga MK mengabulkan. Sehingga para kepala desa memilih gerakan massa akan didukung parlemen. “Parpol membutuhkan suara para kepala desa dalam Pileg 2024,” tegas dia. Mubarok menyebutkan, jika gerakan ke DPR RI untuk merevisi UU no 6 tahun 2014 terkabul, maka akan memunculkan sejumlah problem. Seperti besarnya pendanaan dana desa, adanya pembengkakan anggaran. "Termasuk terganggunya regenerasi politik, pola politik yang rugi warganya. Rakyat menjadi tidak punya pilihan karena ada perpanjangan masa jabatan kepala desa,” urai Mubarok. Ia menyebutkan, tidak menemukan dasar logika jabatan melebihi 5 tahun. Sementara jabatan politik lainnya, mulai kepala desah (bupati, wali kota, gubernur, anggota DPRD, anggota DPR RI, anggota DPD RI, bahkan presiden) jabatan dibatasi lima tahun. Sementara kepala desa menuntut masa jabatan dari enam tahun menjadi delapan tahun. “Tidak ada dasar logika diperpanjang, padahal jabatan politik maksimal lima tahun. Kades merupakan jabatan politik di tingkat desa,” tegas dia. Sementara itu, Partai Golkar pasang badan untuk mendukung aspirasi kepala desa di Indonesia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraannya. Salah satunya dengan mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menyetujui perpanjangan jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Ketua Golkar Jawa Timur Muhammad Sarmuji mengatakan pa berkomitmen mengawal aspirasi para kepala desa, utamanya soal masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. "Aspirasi kepala desa tersebut harus dilakukan melalui perubahan UU no 6 tahun 2014. Masuk akal bila masa jabatan kepala desa ditambah dari 6 tahun menjadi 9 tahun," kata Sarmuji. (day)
Sumber: