Cinta Kasih Suci Sahabat yang Sempat Diwariskan (4)

Cinta Kasih Suci Sahabat yang Sempat Diwariskan (4)

Udin hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Dia juga menjawab pelan, “Belum laku, Pak. Tapi kalau Allah meridhoi, insha Allah sebentar lagi.” “Calonnya anak mana?” tanya ayah Muniah. “Mboten tebih. Tapi kalau diridhoi Gusti Allah lho Pak.” “Saya doakan.” Jenazah sudah disalati, kini siap diberangkatkan munuju permakaman. Sebelum itu, tuan rumah sedikit memberi sambutan. Memorandum mewakili tuan rumah, disusul wakil pentakziah. Udin yang maju. Setelah membuka sambutan dengan bacaan surat Al-Fatihah dan selawat, Udin berkata singkat, “Selamat jalan Teman. Semoga Allah menerimamu di sisi-Nya. Jangan khawatir, aku akan melanjutkan perjuanganmu.” Kulihat Hayong memegang tangan Udin dan sedikit menyeretnya mundur. “Apa maksudmu akan melanjutkan perjuangan almarhum?” tanyanya. Udin hanya diam. “Aku ingin menikahi Muniah, Pa,” kata Udin beberapa saat kemudian. “Tapi suaminya baru meninggal. Lagi pula dia hamil.” “Justru karena itu.” “Tidak semudah itu, Din.” “Apa pun itu, kalau kita jalani dengan ikhlas, semua akan mudah.” Suasana hening. Kami tenggelam dalam lamunan masing-masing. “Sebenarnya aku ingin meminang Muniah dalam sambutan tadi. Tapi rasanya tidak etis,” kata Udin, yang menjelaskan bahwa awalnya dia mengajak Memorandum justru untuk menyaksikan dia melamar Muniah pada prosesi pemakaman sabatnya, Untung. Ini, menurut Udi, adalah sesuatu yang langka. Unik. Pasti viral. Makanya dia sengaja men-shooting selfie sambutannya tadi. Tapi tidak kesampaian. Mulutnya terasa berat untuk menungkapkan kalimat-kalimat lamaran. Pikirnya, sangat tidak etis. Makanya diurungkan. Udin mengaku ingin memberikan dorongan semangat kepada Muniah. Supaya perempuan itu tidak down. Supaya perempuan yang wajahnya mengundang perlindungan itu tetap tegar menjalani hari-hari ke depan. “Sudah kau pikir masak-masak?” sela Hayong. “Sudah Pa,” jawab Udin mantab. Percakapan kami terhenti. Kami sudah sampai di permakaman. Setelah prosesi tuntas, kami langsung pulang tanpa kembali ke rumah duka. Kami tadi memang sudah sekalian pamit. “Kamu harus mematuhi cara-cara agama. Misalnya menunggu masa iddah dll.” “Aku siap, Pa.” “Kau sudah menanyai dan mendengarkan kesediaan Muniah?” “Belum sih, Pa.” “Yo ngene iki arek enom. Grusa-grusu. Tidak mau minta pertimbangan orang tua. Kita dianggap expired. Dianggap sudah kuno. Tapi kalau ada apa-apa, ya orang tua yang kena getahnya,” Hayong ngedumel. (jos, bersambung)  

Sumber: