Jatah Pupuk Subsidi Jatim Makin Turun

Jatah Pupuk Subsidi Jatim Makin Turun

Surabaya, memorandum.co.id - Persoalan pupuk subsidi masih saja carut-marut. Karena tidak juga ada titik terang terkait ketidak jelasan alokasi pupuk untuk petani di Jawa Timur. Jika tidak segera dibenahi, bakal menjadi masalah yang tak kunjung ada solusinya. Anggota Komisi B DPRD Jatim Subianto mengatakan, distribusi pupuk tidak ada kejelasan yang konsisten dari pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan pusat hingga daerah. “Masalah pupuk itu berliku dan tidak jelas, " kata Subianto. Salah satu contohnya, kata politisi yang akrab disapa Pak Bi, adalah banyaknya program untuk petani yang tidak diimbangi dengan konsistensi sesuai kebutuhan di lapangan. "Misal nih ada program peningkatan produksi petani, secara hitung-hitungan, misal butuh 7 juta ton pupuk. Lah prakteknya cuman diberi 30 persen. Mana bisa optimal, itu kan gak konsisten dengan program. Ini program kan gak ada dukungan dari pihak penyedia pupuk, " jelas pria asli Kediri ini. Tidak sampai di situ, jatah 30 persen itu juga secara praktik pembagiannya kayak hukum rimba. Siapa yang kuat yang punya modal dia yang dapat pupuk subsidi. "Lah yang duluan datang punya duit langsung dikasih sama kios. Harusnya kan ya karena jatahnya 30 persen, ya semua dapatnya 30 persen. Sehingga yang datang terakhir tetap dapat jatah. Tapi begitulah pasar, " lanjutnya. Ironisnya, dinas pertanian setempat seolah tutup mata dengan kondisi ini. Tidak ada sosialisasi dan membiarkan kios yang menjadi mitra Pupuk Indonesia mengatur sendiri sesuai kebutuhan pasar, bukan atas jatah petani seharusnya. "Mestinya ya ikut mengatur mekanisme agar semua dapat. Bukan sesuai siapa yang datang duluan," tambahnya. Subianto menjelaskan makin lama jatah pupuk subsidi ke Jatim semakin menurun dari tahun ke tahun. "Saya juga gak paham ya kenapa makin turun. Ya okelah dikurangi tapi ya pelan pelan, bukan mengurangi dengan drastis kayak gitu," cetus dia. Jatim ini makin ke sini makin turun jatahnya. Tahun depan ini bahkan hanya dapat alokasi sekitar 1,6 juta ton. Padahal kebutuhan ideal kita 2,7 juta ton. Sebelumnya Jatim masih memiliki jatah sekitar 2,3 juta ton. "Kan ada prediksi di tahun 2023 bakal terjadi resesi pangan. Harusnya dinaikkan, ini malah turun," tanya Pak Bi. Politisi Partai Demokrat dengan slogan Jatim Bisa ini menawarkan solusi agar petani di Jatim dapat pupuk sesuai kebutuhan. Salah satunya dengan realokasi serapan pupuk di wilayah lain. "Misal ada provinsi yang ternyata pupuk subsidi ini tidak terserap, maka bisa diberikan ke Jatim. Agar efektif diberikan pada petani yang membutuhkan," usulnya. Jika tidak mungkin, maka Jatim harus kreatif dengan membuat teknologi pembuatan pupuk organik. "Namanya alat pembuat pupuk organikk atau APPO. Dinas pertanian menganggarkan program pembuatan APPO ini secara massal. Kenapa harus Dinas ? karena biayanya lumayan besar untuk membuat satu alat APPO ini sekitar 60-80 juta rupiah," ungkapnya. Subianto mengingatkan bahwa kondisi tanah yang selalu diberi pupuk buatan dengan bahan kimia (anorganik), akan berpengaruh pada kondisi kesuburan dan kandungan organik tanah. "Kalau sudah berkurang, ya artinya hasilnyas berkurang. Maka pupuk organik itu solusi agar hasil panen bagus. Kalau pupuknya gak diperhatikan, petani tidak mampu membeli pupuk maka tahun depan resesi pangan bisa saja terjadi," pungkasnya. (day)

Sumber: