Film Non Stop Dan Potret Kejahatan Yang Melibatkan Oknum Perbankan

Film Non Stop Dan Potret Kejahatan Yang Melibatkan Oknum Perbankan

Film non stop yang dibintangi oleh Liam Neeson dan Julianne Moore, bukan sebatas tayangan box office yang laris manis di pasaran. Melainkan, film yang rilis pada 2014 lalu, memiliki banyak makna penting yang seharusnya mampu membuka mata banyak pihak. “Bagaimana mungkin aku memerintahkan TSA (semacam Rekening Tunggal Perbendaharaan di Kementerian Keuangan) untuk melakukan pengiriman dana senilai 150 Juta Dollar ke sebuah nomer rekening asing yang ternyata beratasnamaku?”, tukas Liam Nesson yang berperan sebagai Bill Marks. Dalam hal ini, Bill menerima telpon dari orang asing yang mengancamnya bahwa penelpon tersebut akan membunuh setiap orang di pesawat dalam waktu 20 menit, kecuali Bill meminta (Lembaga) TSA untuk mengirimkan dana senilai 150 juta Dollar ke sebuah nomer rekening. Setelah dicek, ternyata rekening tersebut dibuat dengan nama Bill Marks. Sedangkan Bill sama sekali tidak mengetahui perihal rekening tersebut, namun ternyata dapat terjadi sebuah rekening dibuat tanpa sepengetahuan Bill. Secara singkat, terjadi pencaplokan nama untuk rekening, tanpa diketahui oleh orang yang Namanya dicatut sebagai pemilik rekening. Menarik, karena kejadian janggak tersebut, ternyata bukan sebatas cerita fiksi yang berangkat dari imajinasi belaka. Melainkan, kejahatan yang mengaitkan dengan rekening perbankan, nyata adanya. Inilah yang terjadi pada kasus perdata yang kini bergulir dan mengancam penyitaan sebuah Pondok Pesantren. Disebabkan adanya guliran dana senilai 1 milyar ke sebuah rekening yang mencomot seoran Pengasuh Ponpes, maka sang Kiai pun dianggap telah menerima aliran dana jual beli ponpes miliknya. Uniknya, rekening tersebut diakui oleh Bank pembuatnya, sebagai rekening Bersama. Keunikan ini disebabkan bahwa dalam buku rekening, tidak terdapat tanda tangan Kiai tersebut, melainkan satu tanda tangan saja, yaitu seseorang yang tidak dikenal oleh Kiai tersebut, yaitu Pram. Begitupun, alamat yang tertera dalam buku rekening, adalah nama Pram saja. Lebih unik lagi, lembar print out pun tertulis nama pram seorang diri, yang semakin mempertanyakan, apakah rekening tersebut secara benar merupakan rekening bersama ataukah rekening pribadi Pram? Upaya untuk menelusuri perihal rekening yang pembuatannya tidak diketahui sama sekali oleh Kiai tersebut, telah dilakukan, termasuk mempertanyakan kepada pihak Bank tersebut. namun, pihak Bank yang merupakan salah satu Bank terbesar di Indonesia ini, secara sederhana menyatakan bahwa itu joint account (rekening Bersama). Dan pihak Bank berdalih, karena disebutnya sebagai joint account, maka salah satu pihak dari dua nama tersebut, bebas menarik atau memindahkan dana. Bahkan, Bank terkemuka ini, memberikan kartu ATM untuk kemudahan penarikan dana. Realita ini semakin unik bahkan aneh, disebabkan kartu ATM diberikan hanya kepada Pram saja. Dan Kiai tersebut, yang memang tidak tahu menahu atas rekening tersebut, tidak pernah mendatangi ke Kantor Cabang Bank tersebut, terlebih menandatangani apapun, apalagi menerima kartu ATM atau mendapat pemberitahuan atas segala bentuk cash flow rekening tersebut. Secara logika, tentu terjadi ketidaktepatan tindakan oknum Bank tersebut yang memproses rekening bersama dengan segala konsukuensinya. Bahkan, jika kita tarik benang merah dengan alur cerita film non stop, maka inilah salah satu bentuk nyata kejahatan yang melibatkan oknum perbankan melalui penyalahgunaan kewenangan. ‘Kewenangan telah disalahgunakan’. Namun apakah logika tersebut dapat dikatakan sebagai kebenaran bahwa telah terjadi kejahatan? Ataukah upaya untuk membuka kejanggalan sebagai pembuktian kejahatan, ternyata dianggap sebagai pembenaran semata? Pada akhirnya, jika kemudian kembali pada tayangan film non stop, maka kita bertemu fakta: Bahwa pengungkapan untuk menunjukkan kebenaran, tidak kemudian dipercaya sebagai kebenaran, melainkan, solusi untuk melawan kejahatan dalam film tersebut pun, berakhir dengan laga nan heroik. Dan tentunya, saat kita kembali pada realita nyata, maka keyakinan membangun kebenaran haruslah tetap digaungkan secara optimis bahwa kebenaran akan terbuka, dan kejahatan akanlah menemui jalan buntu melalui proses-proses hukum yang obyektif. Karena setiap upaya membuka kebenaran, akan berujung pada sebuah kata: Kebenaran Absolut.(*) Penulis : Dr. Lia Istifhama, MEI., Ketua Lembaga Bantuan Hukum Srikandi Bakti Insani

Sumber: