Merasa Hanya Menjadi Tempat Persinggahan sang Kelana

Merasa Hanya Menjadi Tempat Persinggahan sang Kelana

Yuli Setyo Budi, Surabaya Kekhilafan di tengah badai malam itu ditebus Bakir dan Tanti dengan mengikatkan diri dalam perkawinan siri. Ikatan itu memang tidak bisa erat, seerat perkawinan yang dicatatkan di kantor KUA, tetapi memang itulah tanggung jawab maksimal yang bisa mereka lakukan. Tanti tak ingin tragedi malam itu merusak rumah tangga Bakir. Menjadikan istri dan anak-anak lelaki tersebut terluka. Dia rela mengorbankan diri dengan tidak terang-terangan menampakkan diri sebagai istri kedua Bakir. Hanya orang-orang tertentu yang diberi tahu bahwa mereka sudah sah menjadi pasangan suami-istri. Termasuk kepala yayasan tempat Tanti bekerja, adik-adik Tanti, dan beberapa kerabat dekat. Demikian pula Bakir, dia tidak ingin mengecewakan istri dan memberi teladan buruk kepada anak-anaknya. Di sisi lain, Bakir tidak bisa menafikan perasaan di dalam hati kecilnya kepada Tanti. Maka, jalan satu-satunya untuk menempuh jalan tengah atas kasus ini adalah menikahi Tanti secara sembunyi-sembunyi, asalkan sah menurut agama, dan mengupayakan kehidupan yang layak untuk Tanti. Bakir lantas membelikan Tanti rumah di pinggiran kota. Walau tidak setiap hari, pemilik beberapa tambak di Gresik dan Sidoarjo ini secara rutin menyambangi istri mudanya tersebut. “Aku bahagia, Te. Tapi, rasanya kok kurang sempurna,” tutur dia. Tanti menyadari tidak akan bisa memiliki Bakir secara utuh. Sekarang atau nanti. Padahal, dia harus selalu memberikan kehidupannya secara utuh kepada lelaki simpatik ini. Hal sangat menyiksa terjadi ketika Tanti harus berhadapan dengan Bakir dan istri secara bersamaan. Kemesraan pasangan suami-itri ini, tidak bisa dipungkiri, menusuk amat dalam ke dalam relung hatinya. Apalagi, pada saat yang sama ikut nimbrung juga anak-anak mereka.vRasanya Tanti ingin kabur secepatnya dari tempat itu. Sebaliknya, Tanti juga ingin berteriak sekuat-kuatnya untuk memberi tahu bahwa dirinya juga berhak atas lelaki tercinta mereka itu. Maka, jangan memonopolinya secara semena-mena. Satu-satunya yang bisa dilakukan Tanti adalah mengeksplorasi cintanya kepada Bakir ketika mendapat kesempatan bertemu dia. Setiap memeluk pria berbadan tegap itu, dia berkhayal itu adalah pelukan terakhir sehingga harus dinikmati segenap jiwa dan raga. Harus dinikmati sampai melesap ke lubang pori-pori kulit, mengalir ke setiap inci tubuh. Tidak ada yang boleh terlewatkan atas kenikmatan tersebut. Tapi, selalu saja ending-nya menyedihkan: Tanti terpaksa harus melepaskan Bakir kembali ke rumah. Ke anak dan istrinya. Tanti menyadari dirinya hanyalah persinggahan bagi Bakir. Tempat melepas penat. Tempat beristirahat dan tafakur di tengah hiruk pikuk menjalankan biduk rumah tangga bersama istri dan anak-anaknya. “Ada saatnya pengelana berteduh di bawah pohon rindang. Akulah pohon itu, Tante,” kata Tanti seolah berfilsafat di hadapan istri Memorandum. (habis)  

Sumber: