Tragedi Kanjuruhan Semoga Menjadi Pintu Perdamaian
Rivalitas dalam sepak bola hanya 90 menit plus injury time. Selebihnya semuanya menjadi kawan. Termasuk di dalamnya pemain, pelatih, manajemen dan lebih-lebih suporter. Tak dapat dipungkiri rivalitas terkadang membutakan nalar melumpuhkan logika. Dibungkus egoisme dan fanatisme klub kebanggaan, semuanya seolah dibenarkan jika tim idola menuai hasil minor. Tragedi Kanjuruhan 1102022 menjadi contoh kongkret. Ratusan nyawa menjadi tumbal fanatisme semu tim kebanggaan. Pendukung Arema yang tidak terima timnya dipermalukan musuh bebuyutan Persebaya meluapkan kekesalannya. Turun dari tribun seolah menjadi tindakan pembenar. Tapi justru tindakan itu menjadi boomerang. Pihak keamanan yang terdesak berusaha menghalau massa dengan gas air mata. Korban pun berjatuhan. Sebanyak 127 orang meninggal (hasil investigasi polisi). Dunia sepak bola berduka. Tragedi Kanjuruhan, Malang mengoreskan tinta hitam kelamnya rivalitas dalam sepak bola. Banyaknya korban menjadi catatan tersendiri. Menempati rangking dalam urusan korban jiwa bukanlah catatan bagus untuk persepakbolaan Indonesia. Justru memalukan. Dari kompetisi La Liga Spanyol hingga Premier League Inggris mengirimkan salam duka. Tidak hanya dunia sepak bola yang menyayangkan tragedi itu. Bahkan Opa Lee Min-ho, selebritis Korea mengungkapkan bela sungkawa. Tanda tragedi ini bukan hanya bersifat local tapi mendunia. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, penyesalan tidak akan mengembalikan nyawa. Berandai-andai kejadian itu tidak terjadi hanya membuat luka semakin perih. Dari Surabaya, Bonek, suporter Persebaya juga mengirimkan salam duka. Bersama elemen masyarakat, termasuk anggota dewan, kepolisian juga manajemen Persebaya, mereka mengirimkan doa untuk para almarhum dan almarhumah. Ribuan lilin dinyalakan di Tugu Pahlawan, Senin (3/10/2022) malam sebagai tanda berkabung. Terangnya lilin yang menyala seolah mengisyaratkan tidak ada sekat antara suporter Bonek dan Aremania. Kemanusiaan di atas segalanya. Lilin-lilin itu juga seolah menembus dan membongkar pintu rivalitas antara Bonek-Aremania yang menahun. Kemanusiaan membungkusnya dalam kedamaian. Bersatu, karena tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia. Rivalitas menahun Bonek-Arema seharusnya padam seiring dengan nyala lilin yang sumbunya termakan api. Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi pintu perdamaian. Itu menjadi harapan semua. Tentunya Bonek juga Aremania. Jika itu yang terjadi alangkah indahnya. Dari lubuk hati yang terdalam, saya yakin mereka juga menginginkannya. Agar tidak ada lagi nyawa melayang sia-sia. Semoga (*)
Sumber: