Ketua Apsifor: Kematian Tidak Wajar Harus Diautopsi

Ketua Apsifor: Kematian Tidak Wajar Harus Diautopsi

Surabaya, memorandum.co.id - Kematian Hari (41), asal Jalan Kapas Baru V, yang gantung diri di ruang bhayangkari Polsek Tambaksari menyisakan tanda tanya besar. Sebab, polisi tidak melakukan autopsi terhadap terduga pelaku pencurian tersebut. Padahal jelas kematian Hari tidak wajar, dan itu harus melalui proses autopsi dan dikuatkan dengan keterangan resmi dari dokter forensik. Bukan hanya karena keluarga menolak autopsi lalu polisi menyetujuinya. Seperti yang dikatakan Ketua Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia) Perwakilan Jawa Timur, Riza Wahyuni, bahwa setiap kasus kematian yang tidak wajar harus dilakukan autopsi. “Di dalam psikologi forensik bahwa untuk melihat motif bunuh diri, perlu dilakukan autopsi. Jadi kalau di dalam psikologi forensik itu kita dikenal dengan namanya autopsi psikologi. Autopsi psikologi itu artinya kita melakukan autopsi pembedahan terhadap kasus kematian, apakah kematiannya wajar atau tidak. Kalau kematiannya wajar ini disebabkan oleh apa kematiannya, misalnya sakit, apakah memang dia punya riwayat usaha bunuh diri, kondisi itu wajar. Artinya kematian yang wajar," papar Riza saat dikonfirmasi Memorandum, Minggu (4/9). Riza menambahkan, untuk kematian yang tidak wajar itu apakah karena dibunuh, atau bunuh diri, maka harus diketahui motifnya seperti apa. "Nah yang bisa mengatakan kematiannya ini kan dokter forensik, maka dilakukan autopsi forensik," jelasnya. Tapi, tambah Riza, apakah yang menjadi penyebab kematiannya. Kalau sudah jelas dibunuh akan terlihat. Artinya ada bekas pembunuhan seperti darah, pukulan, dan macam sebagainya. "Itu kalau dia dibunuh ada jejaknya. Cuma pertanyaannya siapakah yang melakukan pembunuhan, nah kalau autopsi psikologi itu lebih ke arah situ. Jadi untuk bisa menjawab ini kita tidak bisa melakukan jawaban apapun ketika kita tidak terlibat di dalamnya. Psikolog forensik melakukan hal itu," jelasnya. Biasanya, psikolog forensik itu posisinya ada pada hukum dan bukan berdasarkan siapa yang meminta, tetapi hukum dan keadilan. “Itu nanti macam-macam perlu banyak hal yang dilakukan, baru kita bisa menentukan apakah benar bunuh diri atau dibunuh. Bagaimanapun kan kita tidak tahu, karena saya tidak melihat autopsi langsung. Yang bisa jawab pihak penyidik berdasarkan hasil hasil yang dilakukan," urainya. Sedangkan, lanjut Riza, untuk mengetahui apakah benar kondisi orang depresi itu didiagnosa sebelumnya. Sebab, depresi itu disebabkan atas kejadian-kejadian tidak menyenangkan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. "Depresi itu kondisi tertekan, kondisi psikologi tertekan dan kemudian dia tidak mampu untuk mengeluarkan emosinya dia kemudian berusaha melakukan hal-hal yang diinginkan salah satunya adalah melakukan upaya bunuh diri. Jadi dia merasa tidak mampu, merasa tidak sanggup, nah untuk mendiagnosa orang seperti ini juga tidak mudah, karena kondisi depresi itu tidak bisa terjadi hanya sehari dua hari," cakapnya. Jadi orang bisa dikatakan mengalami sesuatu diagnosa depresi ada masanya. Berapa lama. Dan itu ada gejala-gejala yang muncul. "Jadi untuk mendiagnosa seseorang trauma atau tidak, tidak bisa dinilai pada saat pascakejadian karena reaksi itu terjadi karena reaksi normal. Artinya siapapun memiliki pangalaman yang tidak menyenangkan, pengalaman yang menyakitkan pada baru kejadian kemudian muncul reaksi marah, khawatir dan sebagainya artinya normal," tutupnya. (alf)

Sumber: