Kisah Sebuah Manipulatif (1)
'Orang yang mendiamkan kebenaran adalah setan yang bisu’, sebuah ungkapan penuh makna dari Kitab Durratun Nasihin yang menjadi sebuah dorongan kuat bahwa lawan dari sebuah kebenaran adalah karakter setan. Saat direlevansikan dalam kehidupan nyata, ternyata tidak setiap warna putih dianggap benar-benar putih. Sebaliknya, setiap yang berwarna hitam dapat pula dianggap putih. Kebenaran adalah sebuah relatif. Setidaknya itulah yang ternyata memang ada dalam pemikiran manusia. Bahwa kebenaran terkadang dianggap sebagai subyektifitas dan bukanlah ia secara obyektif akan diakui benar oleh banyak orang. Contoh sederhana, tatkala seseorang berkata kepada kita, bahwa ia sedang kehilangan sandal jepit saat ia masuk sebuah toilet SPBU. Maka bisa jadi, diantara kita akan berkata: “Sudah biasa sandal hilang, namanya juga tempat umum.” Sebuah kalimat yang cukup sakti untuk membius orang lainnya dalam persepsi yang sama, yaitu lumrahnya sebuah kejadian yang memberikan ketidaknyamanan atau bahkan merugikan orang lain. Secara sederhana, tindakan tersebut tidaklah kemudian dianggap sebagai tindakan kejahatan oleh semua orang. Lantas, dapatkah kita bedakan mana korban mana pelaku jika sebuah peristiwa dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi? Pada akhirnya, memperdebatkan siapa korban dan siapa pelaku, ternyata bagi beberapa orang, bisa jadi sesuatu hal yang tidak menarik untuk dianalisa. Bisa jadi, seseorang yang dirugikan dalam sebuah peristiwa, disimpulkan sebagai pihak yang sedang apes. Dan sebaliknya, yang mendapat keuntungan, bisa saja disebut sebagai orang cerdas yang sedang beruntung. Kamuflase dan manipulasi, menjadi sebuah alasan tulisan tentang ‘Kisah Sebuah Manipulatif’ ini. Satu waktu, seorang pensiunan tak sengaja bertemu dengan mantan muridnya yang terlihat necis dan mobil mentereng. Berkatalah sang guru: “Alhamdulillah le, kamu sudah berhasil sekarang.” Jawablah sang mantan murid: “Iya, Abah. Saya sudah sukses.” Rasa kagum melihat kesuksesan si murid pun, berlanjut. Berceritalah si murid tentang prosesnya mencapai sukses, bahkan dibuatnya sang guru mempercayai bahwa kesuksesannya melebihi sang guru. Lantas, pria tua yang sudah mencapai usia pensiun tersebut pun, kemudian tertarik untuk bekerjasama dengannya. Tentu, mengisi kesibukan produktif di hari tua. Akhirnya, kesepakatan pun terjadi diantara keduanya. Bahwa mantan murid akan mengajak mantan gurunya bekerjasama sebuah proyek, dengan syarat sang gurunya lah yang harus memberikan modal, yaitu meminjamkan sertifikat rumahnya. Bermodal percaya, sang guru pun menyampaikan kepada istrinya di rumah, dan mereka pun menerima ajakan si murid, yaitu meminjamkan sertifikat yang kebetulan saat itu difungsikan sebagai tempat tinggal para santri binaan keduanya. Sederhana pola pikir keduanya, yaitu hanyalah ingin mendapatkan tambahan pendapatan dan meminjamkan sertifikat selama satu tahun. “Jangan kuatir, abah. Kerjasama ini hasilnya besar dan abah akan memiliki tambahan penghasilan sehingga bisa mengembangkan Lembaga pendidikan yang sudah abah punya”, itulah perkataan si murid yang mereka percayai. Keesokan hari, tetiba murid tersebut menemui sang guru untuk meminta KTP asli. “Abah, pemodalnya sudah siap. Sekarang tinggal Abah menyerahkan KTP asli dulu, Sertifikat menyusul. KTP ini untuk rekening bersama kerjasama proyek nanti,” kalimat yang disampaikan si murid pun menjadi asal mula kisah panjang perjalanan KTP. Dan sederhana sekali, sang guru pun mengikuti permintaan si murid. Dan bermula dari KTP itulah, si murid, sebut saja Sony, kemudian membuka sebuah rekening bersama yang menulis nama sang guru dengan mitra si murid. Rekening bersama tersebut diproses tanpa diketahui secara langsung oleh sang guru sehingga tidak terdapat tanda tangan sang guru dalam buku rekening tersebut. Sekilas, pembuatan rekening bersama seperti itu tidak terlihat resiko besarnya. Andai tidak dipergunakan untuk kepentingan pihak tertentu, maka tidak akan jadi masalah. Namun beda lagi jika terjadi sebaliknya. Karena sehari setelah peminjaman KTP, tepatnya 3 Oktober 2015, si murid mengajak guru beserta istrinya untuk menemui seseorang yang disebutnya pemodal dalam usaha mereka. Pertemuan pun berlangsung di sebuah dealer tempat Alex bekerja. Berakad-lah antar mereka dalam sebuah perjanjian pinjaman modal usaha. Istri sang guru yang mengalami kelainan dalam matanya, yaitu mata kanan rabun jauh dan mata kiri rabun dekat, tidak bisa membaca isi setiap halaman dalam perjanjian tersebut. Ia hanya mendengar kalimat dari perempuan yang membuat akta autentik, saat itu berkata: “Ibu, ini akta utang piutang dengan modal satu milyar rupiah selama satu tahun.” Perempuan tersebut kemudian meminta Salwa, istri dari sang guru, menyerahkan sertifikat bangunan yang difungsikan sebagai ponpes tersebut. Sesaat kemudian, seorang pria yang saat itu diposisikan sebagai pemodal, berkata: “Dana pinjaman baru cair besok setelah ibu yang menyerahkan jaminan sertifikat, setelah kita tanda tangan di notaris Madiun, karena proyek kerjasama ada disana. Uang akan saya transfer di rekening Ibu Salwa.” Kemudian penandatanganan pun selesai. saat itu didalam ruangan, selain pasangan suami istri tersebut, terdapat Sony, pejabat akta sebut saja Arni, pemodal sebut saja Alex, dan beberapa pihak lain yang diperkenalkan kepada suami istri tersebut. Tiga orang tersebut adalah Samuel yang merupakan rekan dari Alex, dan Pram, rekan dari Sony yang disebut Sony sebagai pimpinan proyek kerjasama mereka. Setelah penandatanganan yang berlangsung sekitar setengah jam, suami istri tersebut pun meninggalkan pertemuan tersebut. Dan sepeninggal mereka, Alex bergegas pergi menuju sebuah kantor bank swasta di dekat lokasi pertemuan mereka. Alex kemudian memindahkan dana sejumlah satu milyar rupiah dan sejumlah enam ratus juta rupiah melalui dua slip yang berbeda. Pemindahan dana tersebut ditujukan oleh Alex kepada sebuah rekening bersama yang beratas nama Pram dengan H. Hasan, yang diawal kisah disebut dengan ‘sang guru’. Sebuah rekening yang mana H. Hasan tidak mengetahui bahwa KTP asli yang pernah dipinjamkannya kepada si murid, ternyata menjadi asal mula pembuatan rekening bersama tersebut. Dan sesaat setelah pemindahan dana tersebut, senilai 100 juta rupiah langsung dicairkan oleh Pram yang kemudian dibagi dengan Sony, melalui mesin ATM dengan rincian: Rp. 50 juta ke rekening pribadi Sony dan Rp. 50 juta ke rekening pribadi Pram. Secara berangsur, uang yang semula Rp. 1,6 milyar rupiah pun, mengalami penarikan dana secara sepihak oleh Pram. Dan kejadian tersebut sama sekali tidak diketahui oleh sang guru dan istrinya. Bermula KTP, berlanjut ke sebuah perjanjian dan pergerakan aliran dana. Kisah ini kemudian bergulir dan sebelum memasuki penggalan demi penggalan kisah berikutnya, menarik untuk dicermati mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang tertulis dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dan sebuah kesepakatan disebut telah sepakat jika terdapat kesesuaian antara kehendak dan pernyataan merupakan dasar dari terbentuknya kesepakatan. (bersambung) Penulis: Lia Istifhama
Sumber: